BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Tidak dipungkiri lagi bahwa Hadits merupakan salah satu sumber ajaran
Islam. Lebih tepatnya sumber kedua setelah Al-Qur’an. Sebagai sebuah sumber
ajaran, Hadits telah melalui proses sejarah yang sangat panjang, setidaknya
telah melewati tujuh periode perkembangan.
Tulisan ini akan memaparkan secara umum Hadits pada periode pertama yaitu masa
Rasulullah SAW dan pada periode ke dua yaitu masa Sahabat, dengan fokus bahasan
pada definisinya, cara penyampaian dan penerimaan, dan terakhir perkembanganya.
Dengan mencoba memfokuskan bahasan pada beberapa hal di atas, penulis berharap
kita akan bisa lebih memahami dan mencermati perkembangan, penulisan dan
hal-hal yang terkait erat dengan Hadits.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
perkembangan Hadist pada masa Rasulullah SAW…?
2. Bagaimana
perkembangan Hadist pada masa Sahabat…?
1.3
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah
ini adalah :
1. Mengetahui
perkembangan Hadist pada masa Rasulullah SAW.
2. Mengetahui
perkembangan Hadist pada masa Sahabat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. HADIS
PADA ZAMAN NABI
Membicarakan keberadaan hadis pada masa Nabi tidak bisa dipisahkan dengan
bahasan tentang pribadi Nabi sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena hadis
adalah segala aktifitas yang berkaitan dengan diri Nabi.
Berdasarkan apa
yang dikemukakan oleh Mustafa Azami (1992:27) ada tiga metode atau manhaj yang
ditempuh oleh Nabi di ketika mengajarkan hadis-hadis tersebut.
Adapun metode
yang dimaksud adalah :
1.
Metode Pengajaran Hadis secara Verbal.
Melihat posisi sentral Beliau sebagai penyampai ajaran islam, maka secara
tidak langsung Nabi sendiri adalah guru yang sesungguhnya terhadap
sunah/hadis-hadisnya. Sekali waktu beliau menyempatkan diri untuk mendengarkan
segala ajaran-ajaran yang pernah disampaikan, demi memeriksa apakah ucapan
beliau itu sudah dapat difahami secara benar oleh para sahabat atau belum.
2.
Metode Pengajaran Hadis secara Tertulis
Nabi Muhammad telah melakukan suatu kebijaksanaan di Kota Madinah dan
Mekkah. Berbagai dokumen resmi baik berupa surat menyurat atau hasil kerja sama
termasuk di antaranya piagam, perjanjian, traktaat atau apapun istilahnya yang
dikirimkan atau yang dibuat dengan fihak-fihak yang lain merupakan suatu bukti
yang otentik bahwa Nabi mengajarkan hadisnya dengan secara tertulis.
3.
Metode Pengajaran Hadis dengan cara
Demonstrasi (Praktek Aktual)
Hukum-hukum yang terdapat di dalam al qur’an kadang
tersusun dalam sighat ‘Am dan mutlaq. Oleh karena itu maka diperlukan suatu penjelasan
dan penafsiran dari Nabi tentang beberapa kewajiban syar’i dan
larangan-larangan syar’i agar bisa dijadikan pedoman bagi ummat islam untuk
menaati seluruh ajaran islam tersebut. Dalam banyak hal perintah-perintah al
qur’an di sampaikan dalam bentuk yang tidak terperinci. Umpamanya kewajiban
tentang sholat, zakat puasa dan lain-lain, ketiga bentuk kewajiban di dalam al
qur’an ini tidak diikuti dengan suatu penjelasan yang rinci tentang bentuk,
jumlah dan cara bagaimana kewajiban itu bisa dilaksanakan oleh ummat islam.
A.
Penulisan hadis pada zaman Nabi
Sejarah periwayatan hadis nabi berbeda dengan sejarah periwayatan al
qur’an. Periwayatan al qur’an dari nabi kepada para sahabatnya berlangsung
secara umum dan massal. Para sahabat setelah mendengarkan ayat-ayat al qur’an
yang disampaikan langsung oleh nabi Muhammad, mereka lantas menghafalnya.
Fakta sejarah merupakan salah satu
bukti kebenaran jaminan Allah terhadap pemeliharan al qur’an pada sepanjang
zaman. Adapun periwayatan hadis hanya sebagian kecil saja yang berlangsung
secara mutawatir periwayatan hadis yang terbanyak berlangsung secara ahad (Abu
Rayyah, Tt : 279-280).
Pada suatu ketika Nabi pernah melarang para sahabatnya untuk menulis
hadist Nabi, hal ini disebabkan karena:
(a) Terjadinya
hadis tidak selalu dihadapan sahabat nabi yang pandai menulis hadis.
(b) Perhatian
nabi sendiri sebagaimana yang tampak dalam sabdanya yang melarang penulisan
hadisnya demikian juga para sahabat nabi pada umumnya lebih banyak tertuju
kepada pemeliharaan qur’an.
(c) Walaupun
nabi memiliki beberapa orang sekretaris, akan tetapi para sekretaris itu hanya
diberi tugas untuk menulis wahyu yang turun dan surat-surat nabi.
(d) Sangat
sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal seseorang yang masih
hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain.
B.
Riwayat Tentang Larangan Menulis Hadis.
1. Abu
sa’id al Khudriy meriwayatkan bahwa rasulullah saw bersabda yang artinya :
“Janganlah kalian tulis riwayat dariku, barangsiapa yang menulis riwayat
dariku selain al qur’an hendaklah Ia menghapusnya”
2. Abu
Sa’id al Khudriy mengatakan yang artinya :
“Kami merengek
dihadapan Nabi Saw agar beliau mengijinkan kami menuliskan (riwayat dari beliau
selain al qur’an) tetapi beliau tetap tidak berkenan”
3.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia berkata yang:
Rasulullah saw keluar dan kami sedang menulis beberapa hadis , lalu beliau
bertanya:”apa yang kalian tuliskan itu ?”kami menjawab:”Hadis-hadis yang kami dengar
dari tuan”Beliau bersabda yang artinya :
”Kitab selain
Kitabullah ? Tahukan kalian ? Tidakkah tersesat umat-umat sebelum kamu kecuali
karena kitab-kitab yang mereka tulis bersama kitab Ta’ala"
C.
Riwayat Tentang Bolehnya Penulisan.
1. Abu
Hurairah r.a berkata yang artinya :
” Diantara sahabat nabi saw tidak ada seorang yang lebih banyak
meriwayatkan hadis dari beliau dibanding diriku, kecuali yang ada pada Abdullah
bin Amr karena ia menulis sedang aku tidak”
2.
Diriwayatkan dari Rafi’ ibn Khudaij bahwa ia
berkata : Kami bertanya kepada Rasulullah saw “Wahai Rasulullah kami mendengar
banyak hal darimu. Apakah kami boleh menuliskannya ?” Beliau menjawab yang artinya
: ”Tuliskanlah dan tidak mengapa “
3.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa tatkala
Allah SWT membukakan Makkah bagi rasulullah saw, beliau berdiri dan berceramah
dihadapan masyarakat. Lalu ada seorang warga Yaman yang dikenal dengan nama Abu
Syah berdiri, lalu berkata :”Wahai Rasululah tuliskanlah untukku. Lalu beliau
bersabda yang artinya :“Tuliskanlah hadis untuk Abu Syah ”
Melihat adanya dua riwayat yang saling bertentangan sebagaimana tersebut
pada paragraf di atas, maka jumhur muhadisin menyimpulkan bahwa pendapat para pengamat baik dari
kalangan orientalis Barat atau ilmuwan dari Timur sendiri, sesungguhnya tidak berdasarkan
pada kajian yang ilmiah. Semua ulama sudah mengetahui bahwa pendapat yang
menyimpang itu adalah pendapat yang samasekali tidak memiliki dasar argumentasi
yang kuat.
2.2.
Hadist Pada Zaman Sahabat
1)
Hadist Pada Zaman Sahabat (Khulafa ar-Rasyidin)
Sahabat adalah orang yang pernah bertemu Nabi Saw dan
beriman kepada beliau. Sahabat Besar (Kibar Sahabat) berarti sahabat
yang sering bersama Nabi Saw, dan banyak belajar dari beliau seperti Abu Bakar,
Umar bin Khattab. Sahabat Kecil (Shighar Sahabat) adalah para sahabat
yang pernah bertemu dengan Nabi Saw kemudian beriman di hadapan beliau. Setelah
wafatnya Rasulullas Saw, sahabat Nabi yang pertama menjadi khalifahh adalah Abu
Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab
(wafat 23 H/644 M), Ustman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib
(wafat 40 H/611 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan
al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar
(Kibar Sahabat). Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat
besar dan menyusul era sahabat kecil.
2) Para Sahabat Sangat
Berhati-hati Dalam Meriwayatkan Hadist
Abu Bakar
merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam
periwayatan hadis. Pernyataan al-Dzahabi ini didasarkan sikap Abu Bakar ketika
dihadapai satu kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek
menghadap kepada khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta ynag
ditinggalkan oleh cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk
al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu
Bakar lalu bertanyaa kepada para sahabat. Mughirah bin Syu’bah menyatakan
kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar
seperenam (1/6) bagian. Al-Mughirah mengaku hadir ketika Nabi menetapkan
demikian itu.
Mendengar
pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang
saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran
pernyataan Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan
memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan Mughirah
tersebut.
3) Seruan Umar Agar Teliti
Meriwayatkan Hadist
Sebagaimana Abu
Bakar, khalifah selanjutnya, Umar bin al-Khaththab juga terkenal sangat
hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat misalnya, ketika Umar
mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab, Umar baru bersedia
menerima hadis dari Ubay, setelah para sahabat yang lain, seperti Abu Dzar
menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh
Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay :
”Demi Allah, sungguh saya
tidak menuduhmu telah berdusta. Saya bertindak demikian karena saya ingin
berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi”.
Hal lain yang
menyebabkan ketatnya penerimaan hadist oleh kedua khalifah ini, karena
ditakutkan hadist itu diriwayatkan dengan tidak benar, tergesa-gesa sehingga
menyebabkan kesalahan dalam periwayatan. Jika riwayat itu salah maka hal itu
dianggap pembohong, dan membohongi Nabi sendiri. Ancaman Nabi Saw bagi yang
membohongi dirinya adalah neraka seperti ancaman beliau Saw:
“Barang siapa membohongi
diriku, maka bersiaplah tempat duduknya dari api neraka.” (HR. Bukhari).
4)
Implikasi Seruan Dua Khalifah
Kehatian-hatian
dua orang khalifah ini, atau bisa dikatakana sangat hati dalam menjaga dan
melestarikan hadist akhirnya memumpayai implikasi positif. Dalam arti bahwa
semua sahabat yang mendengar dari Nabi Saw (hadist) haruslah teliti. Seruan ini
tidak saja hanya berlaku bagi para sahabat, bahkan pata tabi’in pun sangat
berhati dalam meriwayatkan atau menerima sebuah hadist dan keharusan adanya
saksi terlebih dahulu. Bahkan sering dikatakan sebuah anekdot jika ada orang
yang banyak meriwayatkan hadist dengan tidak teliti:
“Orang yang meriwayatkan
hadist, sesungguhnya dia memasukan sesuatu antara Allah dan orang itu, dan
lihat saja apa yang dimasukannya (maksudnya setan).”
5)
Pelestarian Hadist dibawah Pimpinan Utsman dan Ali
Tindakan
khalifah Utsman dan Ali tidak seketat dua pendahulunya, karena dimungkinkan
beberapa sebab Meluasnya wilayah Islam dan banyak mayarakat daerah penaklukan
masuk Islam, dengan demikian dibutuhkan tenaga pengajar untuk mengajar.
Khalifah
Utsman lebih sedikit meriwayatkan hadist yang terdapat dalam kitab-kitab hadist
saat ini. Karena mungkin sekali kegiatan pencatatan Qur’an menjadi kagiatan
utama yang dilakukan beliau selain menghadapi bebrbagai masalah.
6) Sikap Para Sahabat Lainnya
Terhadap Hadist
a. Para Sahabat yang banyak
meriwayatkan Hadist
Ada beberapa
sahabat yang banyak pula meriwayatkan hadist diantaranya Abu Hurairah, Ibnu
Mas’ud, Siti A’isyah, Abu Darda, Abu Dzar Al-Ghifari. Namun para sahabat
ini tidak sembarangan menriwayatkan tanpa ketelitian. Abu Hurairah misalnya
pernah ditanya ketika diketahui ia banyak meriwayatkan hadist:” Apakah kamu
bersama kami ketika Nabi Saw berada di tempat ini? (Maksudnya: Abu Hurairah
adalah sahabat yang hanya 2 tahun saja bersama Nabi sebelum beliau wafat)
b. Sahabat Yang Sedikit
Meriwayatkan Hadist
Beberapa sahabat
yang termasuk sedikit dalam meriwayatkan hadist ketika itu Zaid Ibn Arqam,
Zubair ibn ‘Awam, ‘Imran ibn Hashin, Anas Bin Malik, Saad bin Abi Waqqas dan
lainnya.
Ans bin Malik
pernah berkata, sekiranya dia tidak takut keliru niscaya semua apa yang telah
didengarnya dari Nabi dikemukakan pula kepada orang lain. Pernyataan Anas ini
memberi petunjuk bahwa tidak seluruh hadis yang pernah didengarnya dari Nabi
disampaikannya kepada sahabat lain atau kepada tabi’in, dia berlaku hati-hati
dalam meriwayatkan hadist.
c. Rihlah Ilmiah Para Sahabat Dalam Mencari Ilmu
(Mencari Hadist)
Para sahabat,
yang pernah bersama Nabi Saw baik dalam keadaan suka dan duka, yang tahu
turunya wahyu, mereka pula murid-murid langsung dari Rasulullah Saw, tidak
pernah lelah dalam mencari ilmu. Mencari ilmu ketika itu adalah dengan
mendengar atau mencari hadist, karena hadist adalah sumber ilmu, selain sebagai
penafsir Qur’an.
Abu Ayyub Anshari misalnya yang bertempat di MaAdinah pernah mendatangi Uqbah bin ‘Amir di Mesir hanya untuk menanyakan satu hadist saja.
Abu Ayyub Anshari misalnya yang bertempat di MaAdinah pernah mendatangi Uqbah bin ‘Amir di Mesir hanya untuk menanyakan satu hadist saja.
Begitu pula
dengan Jabir bin Abdullah seperti yang tercantum dalam riwayat Bukhari, bahwa
ia pernah berjalan sebulan penuh dari Madinah ke Syam (Jordan, Syria sekarang)
hanya untuk mencari satu hadist saja yang belum ia dengar sebelumnya.
Begitu pula dengan sahabat lainnya, mereka banyak belajar pula dari sahabat lainnya tanpa malu-malu.
Begitu pula dengan sahabat lainnya, mereka banyak belajar pula dari sahabat lainnya tanpa malu-malu.
BAB III
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Kesimpulannya adalah bahwa as sunnah adalah salah satu dari beberapa
sumber hukum yang diakui dalam penetapan hukum islam. Secara hirarkhis posisi
al hadis adalah sumber yang kedua setelah al qur’an. Karena dari berbagai
seginya baik dari segi qath’iy al wurudl dan qath’iy al dalalah al hadis
menunjukkan pada posisi yang meyakinkan untuk dijadikan sebagai dasar penetapan
hukum syar’iy.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment