Monday, April 21, 2014

Perkembangan Hadist pada masa Rasulullah



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang Masalah
Tidak dipungkiri lagi bahwa Hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Lebih tepatnya sumber kedua setelah Al-Qur’an. Sebagai sebuah sumber ajaran, Hadits telah melalui proses sejarah yang sangat panjang, setidaknya telah melewati tujuh periode perkembangan.
Tulisan ini akan memaparkan secara umum  Hadits pada periode pertama yaitu masa Rasulullah SAW dan pada periode ke dua yaitu masa Sahabat, dengan fokus bahasan pada definisinya, cara penyampaian dan penerimaan, dan terakhir perkembanganya. Dengan mencoba memfokuskan bahasan pada beberapa hal di atas, penulis berharap kita akan bisa lebih memahami dan mencermati perkembangan, penulisan dan hal-hal yang terkait erat dengan Hadits.

1.2    Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan Hadist pada masa Rasulullah SAW…?
2.      Bagaimana perkembangan Hadist pada masa Sahabat…?

1.3    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah :
1.      Mengetahui perkembangan Hadist pada masa Rasulullah SAW.
2.      Mengetahui perkembangan Hadist pada masa Sahabat.

 BAB II
PEMBAHASAN
2.1.    HADIS PADA ZAMAN NABI
Membicarakan keberadaan hadis pada masa Nabi tidak bisa dipisahkan dengan bahasan tentang pribadi Nabi sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena hadis adalah segala aktifitas yang berkaitan dengan diri Nabi.
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Mustafa Azami (1992:27) ada tiga metode atau manhaj yang ditempuh oleh Nabi di ketika mengajarkan hadis-hadis tersebut.
Adapun metode yang dimaksud adalah :
1.       Metode Pengajaran Hadis secara Verbal.
Melihat posisi sentral Beliau sebagai penyampai ajaran islam, maka secara tidak langsung Nabi sendiri adalah guru yang sesungguhnya terhadap sunah/hadis-hadisnya. Sekali waktu beliau menyempatkan diri untuk mendengarkan segala ajaran-ajaran yang pernah disampaikan, demi memeriksa apakah ucapan beliau itu sudah dapat difahami secara benar oleh para sahabat atau belum.
2.       Metode Pengajaran Hadis secara Tertulis
Nabi Muhammad telah melakukan suatu kebijaksanaan di Kota Madinah dan Mekkah. Berbagai dokumen resmi baik berupa surat menyurat atau hasil kerja sama termasuk di antaranya piagam, perjanjian, traktaat atau apapun istilahnya yang dikirimkan atau yang dibuat dengan fihak-fihak yang lain merupakan suatu bukti yang otentik bahwa Nabi mengajarkan hadisnya dengan secara tertulis.
3.       Metode Pengajaran Hadis dengan cara Demonstrasi (Praktek Aktual)
Hukum-hukum yang terdapat di dalam al qur’an kadang tersusun dalam sighat ‘Am dan mutlaq. Oleh karena itu maka diperlukan suatu penjelasan dan penafsiran dari Nabi tentang beberapa kewajiban syar’i dan larangan-larangan syar’i agar bisa dijadikan pedoman bagi ummat islam untuk menaati seluruh ajaran islam tersebut. Dalam banyak hal perintah-perintah al qur’an di sampaikan dalam bentuk yang tidak terperinci. Umpamanya kewajiban tentang sholat, zakat puasa dan lain-lain, ketiga bentuk kewajiban di dalam al qur’an ini tidak diikuti dengan suatu penjelasan yang rinci tentang bentuk, jumlah dan cara bagaimana kewajiban itu bisa dilaksanakan oleh ummat islam.
A.     Penulisan hadis pada zaman Nabi
Sejarah periwayatan hadis nabi berbeda dengan sejarah periwayatan al qur’an. Periwayatan al qur’an dari nabi kepada para sahabatnya berlangsung secara umum dan massal. Para sahabat setelah mendengarkan ayat-ayat al qur’an yang disampaikan langsung oleh nabi Muhammad, mereka lantas menghafalnya.
Fakta sejarah  merupakan salah satu bukti kebenaran jaminan Allah terhadap pemeliharan al qur’an pada sepanjang zaman. Adapun periwayatan hadis hanya sebagian kecil saja yang berlangsung secara mutawatir periwayatan hadis yang terbanyak berlangsung secara ahad (Abu Rayyah, Tt : 279-280).
Pada suatu ketika Nabi pernah melarang para sahabatnya untuk menulis hadist Nabi, hal ini disebabkan karena:
(a)    Terjadinya hadis tidak selalu dihadapan sahabat nabi yang pandai menulis hadis.
(b)   Perhatian nabi sendiri sebagaimana yang tampak dalam sabdanya yang melarang penulisan hadisnya demikian juga para sahabat nabi pada umumnya lebih banyak tertuju kepada pemeliharaan qur’an.
(c)    Walaupun nabi memiliki beberapa orang sekretaris, akan tetapi para sekretaris itu hanya diberi tugas untuk menulis wahyu yang turun dan surat-surat nabi.
(d)   Sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal seseorang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain.
B.      Riwayat Tentang Larangan Menulis Hadis.
1.      Abu sa’id al Khudriy meriwayatkan bahwa rasulullah saw bersabda yang artinya :
“Janganlah kalian tulis riwayat dariku, barangsiapa yang menulis riwayat dariku selain al qur’an hendaklah Ia menghapusnya”
2.      Abu Sa’id al Khudriy mengatakan yang artinya :
“Kami merengek dihadapan Nabi Saw agar beliau mengijinkan kami menuliskan (riwayat dari beliau selain al qur’an) tetapi beliau tetap tidak berkenan”
3.           Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia berkata yang: Rasulullah saw keluar dan kami sedang menulis beberapa hadis , lalu beliau bertanya:”apa yang kalian tuliskan itu ?”kami menjawab:”Hadis-hadis yang kami dengar dari tuan”Beliau bersabda yang artinya :
”Kitab selain Kitabullah ? Tahukan kalian ? Tidakkah tersesat umat-umat sebelum kamu kecuali karena kitab-kitab yang mereka tulis bersama kitab Ta’ala"

C.     Riwayat Tentang Bolehnya Penulisan.
1.      Abu Hurairah r.a berkata yang artinya :
” Diantara sahabat nabi saw tidak ada seorang yang lebih banyak meriwayatkan hadis dari beliau dibanding diriku, kecuali yang ada pada Abdullah bin Amr karena ia menulis sedang aku tidak”
2.           Diriwayatkan dari Rafi’ ibn Khudaij bahwa ia berkata : Kami bertanya kepada Rasulullah saw “Wahai Rasulullah kami mendengar banyak hal darimu. Apakah kami boleh menuliskannya ?” Beliau menjawab yang artinya : ”Tuliskanlah dan tidak mengapa “
3.            Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa tatkala Allah SWT membukakan Makkah bagi rasulullah saw, beliau berdiri dan berceramah dihadapan masyarakat. Lalu ada seorang warga Yaman yang dikenal dengan nama Abu Syah berdiri, lalu berkata :”Wahai Rasululah tuliskanlah untukku. Lalu beliau bersabda yang artinya :“Tuliskanlah hadis untuk Abu Syah ”
Melihat adanya dua riwayat yang saling bertentangan sebagaimana tersebut pada paragraf di atas, maka jumhur muhadisin menyimpulkan  bahwa pendapat para pengamat baik dari kalangan orientalis Barat atau ilmuwan dari Timur sendiri, sesungguhnya tidak berdasarkan pada kajian yang ilmiah. Semua ulama sudah mengetahui bahwa pendapat yang menyimpang itu adalah pendapat yang samasekali tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat.

2.2.          Hadist Pada Zaman Sahabat
1)      Hadist Pada Zaman Sahabat (Khulafa ar-Rasyidin)
 Sahabat adalah orang yang pernah bertemu Nabi Saw dan beriman kepada beliau. Sahabat Besar (Kibar Sahabat) berarti sahabat yang sering bersama Nabi Saw, dan banyak belajar dari beliau seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab. Sahabat Kecil (Shighar Sahabat) adalah para sahabat yang pernah bertemu dengan Nabi Saw kemudian beriman di hadapan beliau. Setelah wafatnya Rasulullas Saw, sahabat Nabi yang pertama menjadi khalifahh adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Ustman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar (Kibar Sahabat). Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil.
2)      Para Sahabat Sangat Berhati-hati Dalam Meriwayatkan Hadist
Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan al-Dzahabi ini didasarkan sikap Abu Bakar ketika dihadapai satu kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta ynag ditinggalkan oleh cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanyaa kepada para sahabat. Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam (1/6) bagian. Al-Mughirah mengaku hadir ketika Nabi menetapkan demikian itu.
Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan Mughirah tersebut.
3)      Seruan Umar Agar Teliti Meriwayatkan Hadist
Sebagaimana Abu Bakar, khalifah selanjutnya, Umar bin al-Khaththab juga terkenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat misalnya, ketika Umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab, Umar baru bersedia menerima hadis dari Ubay, setelah para sahabat yang lain, seperti Abu Dzar menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay :
”Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya bertindak demikian karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi”.
Hal lain yang menyebabkan ketatnya penerimaan hadist oleh kedua khalifah ini, karena ditakutkan hadist itu diriwayatkan dengan tidak benar, tergesa-gesa sehingga menyebabkan kesalahan dalam periwayatan. Jika riwayat itu salah maka hal itu dianggap pembohong, dan membohongi Nabi sendiri. Ancaman Nabi Saw bagi yang membohongi dirinya adalah neraka seperti ancaman beliau Saw:
“Barang siapa membohongi diriku, maka bersiaplah tempat duduknya dari api neraka.” (HR. Bukhari).
4)      Implikasi Seruan Dua Khalifah
Kehatian-hatian dua orang khalifah ini, atau bisa dikatakana sangat hati dalam menjaga dan melestarikan hadist akhirnya memumpayai implikasi positif. Dalam arti bahwa semua sahabat yang mendengar dari Nabi Saw (hadist) haruslah teliti. Seruan ini tidak saja hanya berlaku bagi para sahabat, bahkan pata tabi’in pun sangat berhati dalam meriwayatkan atau menerima sebuah hadist dan keharusan adanya saksi terlebih dahulu. Bahkan sering dikatakan sebuah anekdot jika ada orang yang banyak meriwayatkan hadist dengan tidak teliti:
“Orang yang meriwayatkan hadist, sesungguhnya dia memasukan sesuatu antara Allah dan orang itu, dan lihat saja apa yang dimasukannya (maksudnya setan).”
5)      Pelestarian Hadist dibawah Pimpinan Utsman dan Ali
Tindakan khalifah Utsman dan Ali tidak seketat dua pendahulunya, karena dimungkinkan beberapa sebab Meluasnya wilayah Islam dan banyak mayarakat daerah penaklukan masuk Islam, dengan demikian dibutuhkan tenaga pengajar untuk mengajar.
Khalifah Utsman lebih sedikit meriwayatkan hadist yang terdapat dalam kitab-kitab hadist saat ini. Karena mungkin sekali kegiatan pencatatan Qur’an menjadi kagiatan utama yang dilakukan beliau selain menghadapi bebrbagai masalah.
6)      Sikap Para Sahabat Lainnya Terhadap Hadist
a.      Para Sahabat yang banyak meriwayatkan Hadist
Ada beberapa sahabat yang banyak pula meriwayatkan hadist diantaranya Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, Siti A’isyah, Abu Darda, Abu Dzar Al-Ghifari. Namun para sahabat ini tidak sembarangan menriwayatkan tanpa ketelitian. Abu Hurairah misalnya pernah ditanya ketika diketahui ia banyak meriwayatkan hadist:” Apakah kamu bersama kami ketika Nabi Saw berada di tempat ini? (Maksudnya: Abu Hurairah adalah sahabat yang hanya 2 tahun saja bersama Nabi sebelum beliau wafat)
b.      Sahabat Yang Sedikit Meriwayatkan Hadist
Beberapa sahabat yang termasuk sedikit dalam meriwayatkan hadist ketika itu Zaid Ibn Arqam, Zubair ibn ‘Awam, ‘Imran ibn Hashin, Anas Bin Malik, Saad bin Abi Waqqas dan lainnya.
Ans bin Malik pernah berkata, sekiranya dia tidak takut keliru niscaya semua apa yang telah didengarnya dari Nabi dikemukakan pula kepada orang lain. Pernyataan Anas ini memberi petunjuk bahwa tidak seluruh hadis yang pernah didengarnya dari Nabi disampaikannya kepada sahabat lain atau kepada tabi’in, dia berlaku hati-hati dalam meriwayatkan hadist.
c.        Rihlah Ilmiah Para Sahabat Dalam Mencari Ilmu (Mencari Hadist)
Para sahabat, yang pernah bersama Nabi Saw baik dalam keadaan suka dan duka, yang tahu turunya wahyu, mereka pula murid-murid langsung dari Rasulullah Saw, tidak pernah lelah dalam mencari ilmu. Mencari ilmu ketika itu adalah dengan mendengar atau mencari hadist, karena hadist adalah sumber ilmu, selain sebagai penafsir Qur’an.
Abu Ayyub Anshari misalnya yang bertempat di MaAdinah pernah mendatangi Uqbah bin ‘Amir di Mesir hanya untuk menanyakan satu hadist saja.
Begitu pula dengan Jabir bin Abdullah seperti yang tercantum dalam riwayat Bukhari, bahwa ia pernah berjalan sebulan penuh dari Madinah ke Syam (Jordan, Syria sekarang) hanya untuk mencari satu hadist saja yang belum ia dengar sebelumnya.
Begitu pula dengan sahabat lainnya, mereka banyak belajar pula dari sahabat lainnya tanpa malu-malu.


BAB III
KESIMPULAN
3.1  Kesimpulan
Kesimpulannya adalah bahwa as sunnah adalah salah satu dari beberapa sumber hukum yang diakui dalam penetapan hukum islam. Secara hirarkhis posisi al hadis adalah sumber yang kedua setelah al qur’an. Karena dari berbagai seginya baik dari segi qath’iy al wurudl dan qath’iy al dalalah al hadis menunjukkan pada posisi yang meyakinkan untuk dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syar’iy.

 DAFTAR PUSTAKA











No comments: