BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perkataan shahabat
itu adalah hujjah. Kata Imam Abu Hanifah: Apabila saya mendapatkan ketentuan
dari kita Allah dan sunnah Rasullah saw maka saya mengambil pendapat dari
shahabat beliau yang saya kehendaki dan meninggalkan pendapat beliau yang tidak
saya kehendaki.
Imam Syafi'I tidak sepakat jika salah seorang pendapat shahabat menjadi hujjah. Sebagaimana seorang shahabat boleh berbeza pendapat dengan shahabat lain. Oleh karenanya Imam Syafi'I berkata menetapkan hokum atau memberi fatwa tidak boleh melainkan berdasarkan pendapat yang kuat yaitu Al-qur'an, Al-Hadis, pendapat para ahli yang tidak diperselisihkan lagi atau qias kepada salah satu pendapat di atas .
Imam Syafi'I tidak sepakat jika salah seorang pendapat shahabat menjadi hujjah. Sebagaimana seorang shahabat boleh berbeza pendapat dengan shahabat lain. Oleh karenanya Imam Syafi'I berkata menetapkan hokum atau memberi fatwa tidak boleh melainkan berdasarkan pendapat yang kuat yaitu Al-qur'an, Al-Hadis, pendapat para ahli yang tidak diperselisihkan lagi atau qias kepada salah satu pendapat di atas .
1.2 Tujuan Penulisan
a. Untuk
mengetahui mengapa terjadi perbedaan pendapat ( fatwa ) para sahabat Nabi,
b. Untuk
mengetahui berapa jenis Mazhab Sahabi,
c. Menyelidiki
asal usul Mazhab Sahabi.
1.3
Mamfaat
Penulisan
a)
Mendapat pengetahuan tentang Mazhab Sahabi baik bagi
penulis maupan bagi pembaca,
b)
Dapat mengetahui apa itu Mazhab Sahabi.
BAB II
PEMBAHASAN
Yang
dimaksud dengan mazhab sahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW.tentang
suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah.
Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib, ahli hadist berkebangsaan Syiria, dalam karyanya Ushul al- Hadits adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah.
Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib, ahli hadist berkebangsaan Syiria, dalam karyanya Ushul al- Hadits adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah.
2.2 Bentuk
– Bentuk Mazhab Sahabi
Dalam pandangan Abu Zahrah, fatwa
sahabat terdiri dari beberapa bentuk :
1) Apa yang disampaikan sahabat itu berupa berita yang didengarnya dari Nabi, tetapi ia tidak menyatakan bahwa berita itu sebagai sunnah Nabi saw.
2) Apa yang diberitakan sahabat itu sesuatu yang didengarnya dari orang yang pernah mendengarnya dari Nabi, tetapi orang tersebut tidak menjelaskan bahwa yang didengarnya itu berasal dari Nabi.
3) Sesuatu yang disampaikan sahabat itu merupakan hasil pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang orang lain tidak memahaminya.
4) Sesuatu yang disampaikan sahabat telah disepakati lingkungannya, namun yang menyampaikan hanya sahabat itu hanya seorang diri.
5) Apa yang disampaikan sahabat merupakan hasil pemahamannya atas dalil-dalil karena kemampuannya dalam bahasa dan dalam penggunaan dalil lafal.
1) Apa yang disampaikan sahabat itu berupa berita yang didengarnya dari Nabi, tetapi ia tidak menyatakan bahwa berita itu sebagai sunnah Nabi saw.
2) Apa yang diberitakan sahabat itu sesuatu yang didengarnya dari orang yang pernah mendengarnya dari Nabi, tetapi orang tersebut tidak menjelaskan bahwa yang didengarnya itu berasal dari Nabi.
3) Sesuatu yang disampaikan sahabat itu merupakan hasil pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang orang lain tidak memahaminya.
4) Sesuatu yang disampaikan sahabat telah disepakati lingkungannya, namun yang menyampaikan hanya sahabat itu hanya seorang diri.
5) Apa yang disampaikan sahabat merupakan hasil pemahamannya atas dalil-dalil karena kemampuannya dalam bahasa dan dalam penggunaan dalil lafal.
2.3 Kehujahan
Mazhab Sahabi
Mazhab
sahabi pada dasarnya adalah fatwa atau pendapat sahabat Nabi Saw. Dalam
menentukan kehujjahan atau kekuatan mazhab sahabi sebagai dalil hukum terkait
dengan bentuk dan asal fatwa sahabat tersebut. Dalam hal ini, permasalahan yang
dibahas dalam Ushul Fiqh dalam kaitan ini adalah, apakah fatwa-fatwa mereka itu
harus diikuti para mujtahid setelah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ dalam
menetapkan hukum atau tidak.
Ulama
berbeda pendapat tentang fatwa sahabat secara perorangan tersebut dapat
merupakan hasil ijtihad, apakah mengikat ngenarasi sesudahnya atau tidak
nengikat. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, dan menurut Wahbah
az-zuhaili, beberapa pendapat itu dapat disimpulkan kepada dua pendapat,
sebagai berikut:
1. Kalangan Hanafiah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin Hambal, bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan oleh generasi sesudahnya. Alasan mereka antara lain:
a) Firman Allah SWT:
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.(QS.Ali Imran/3:110).
b) Sabda Rasulullah Saw :
Artinya: “para sahabatku bagaika bintang-bintang, siapa pun diantara mereka yang kalian ikuti, maka kalian akan mendapat petunjuk”. (HR.Abu Daud).
2. Kalangan Mu’tazilah , Syiah dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hambal bahwa fatwa sahabat tidak menikat generasi seterusnya atau sesudanya. Di antara alasan yang mereka kemukakan adalah:
a. Firman Allah SWT :
Artinya: “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (QS. Al-Hasyr/59:2).
b. Para sahabat bukanlah termasuk orang yang dijamin Allah maksum ( bebas dari dosa dan kesalahan), sama halnya dengan para mujtahid lainnya. Oleh karena itu, fatwa mereka munkin saja ada yang keliru. Sesuatu yang mengandung kemungkinan keliru tidak boleh diikuti.
2.4 Beberapa
contoh Fatwa Sahabat
Di antara contoh fatwa-fatwa sahabat sebagai berikut:
1) Fatwa Aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita dua tahun
Di antara contoh fatwa-fatwa sahabat sebagai berikut:
1) Fatwa Aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita dua tahun
melalui
ungkapannya: ”anak tidak berada dalam perut ibunya lebih dari dua tahun”.
2) Fatwa Anas bin Malik yang menerangkan tentang masa minimal haid seorang wanita,
2) Fatwa Anas bin Malik yang menerangkan tentang masa minimal haid seorang wanita,
yaitu tiga hari.
3) Fatwa Umar bin Khattab tentang laki-laki yang menikahi wanita yang sedang dalam masa
3) Fatwa Umar bin Khattab tentang laki-laki yang menikahi wanita yang sedang dalam masa
iddah harus dipisahkan dan diharamkan
baginya untuk menikahi wanita tersebut untuk
selamanya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fiqh para sahabat khususnya seperti diwakili oleh al-Khulafa, al-Rasyidun adalah fondasi utama dari seluruh bangunan fiqh Islam sepanjang zaman. Fiqih shahabi memberikan dua macam pola pendekatan terhadap syari'ah yang kemudian melahirkan tradisi fiqh yang berbeda. Ikhtilaf di antara para sahabat, selain mewariskan kemusykilan bagi kita sekarang, juga seperti kata 'Umar ibn Abdul Aziz menyumbangkan khazanah yang kaya untuk memperluas pemikiran. Tentu saja, untuk itu diperlukan penelaahan kritis terhadapnya. Sayang sekali, sikap kritis ini telah "dimatikan" dengan vonnis zindiq oleh sebagian ahli hadits. Ada dua sikap ekstrim terhadap sahabat yang harus dihindari: menghindari sikap kritis atau melakukan sikap hiperkritis. Ketika banyak orang marah karena 'Umar dikritik,'Umar sendiri berkata, "Semoga Allah meyampaikan kepadaku kesalahan-kesalahanku sebagai suatu bingkisan”.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Zainal Abidin Ahmad, Drs., Ushul
Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.
Ø Wahbah al-zuhaili, Ilm Ushul a-Fiqh
al-Islamy, Dar al-Fikr, Bairut, 1986
.
No comments:
Post a Comment