BAB I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Masalah
Segala perintah yang
diperintahkan oleh Syari’ baik itu yang terdapat dalam al-Qur’an maupun
as-Sunnah semuanya mempunyai dilâlah yang bermacam-macam serta
metode yang berbeda-beda untuk mencetuskan sebuah hukum yang diinginkan oleh
Allah swt. Bukan berarti dilâlah lafadz tersebut sudah cukup hanya
dengan dipahami dari segi bahasa yang diungkapkan oleh lafad tersebut atau
hanya dengan memahami manthuq sharih dari lafad itu sendiri, akan tetapi
disamping itu masih terdapat dilâlah lain yang juga dijadikan pegangan
oleh para ulama’ Ushul dalam meng-istinbath-kan sebuah hukum, seperti dilalah
al-Isyarah, al-Iqtidha’, at-Tanbih, serta tidak sedikit dari para kalangan
Ulama itu sendiri yang menggunakan mafhum mukhâlafah.
Ketika seorang
mujtahid berkeinginan untuk meng-istinbath-kan sebuah hukum baik itu
yang sudah disinggung dalam nash-nash yang ada maupun yang tidak disinggung
sama sekali, maka terlebih dahulu ia harus mengetahui atau mempelajari
alat-alat yang dapat membawanya pada hukum tersebut. Alat-alat inilah yang oleh
kalangan ulama’ Ushul disebut dengan “ Dilalah Lafdziyah “.
Dalam makalah
yang sederhana ini penulis ingin mencoba untuk menguraikan sedikit tentang mafhum
Mukhalafah sesuai dengan cara yang diterapkan oleh kalangan ulama’ ahli
kalam (al-Mutakallimin) dalam menetapkan sebuah hukum sesuai
dengan yang dikehendaki oleh Allah dan para Rasul-Nya.
1.2.
Rumusan Masalah
a. Apa
itu Mafhum Mukhalafah dan ada berapa
macamkah Mahfum Mukhlafah ?
b. Peran
penting Mahfum Mukhalafah bagi kehidupan seseorang !
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan Penulisan Makalah ini adalah untuk mengetahui bahwa
pemahaman Mafhum Mukhalafah sangatlah
penting bagi kehidupan seseorang demi kebenaran terhadap pemahaman-pemahaman
nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah.
BAB II.
PEMBAHASAN
2.1
Definisi
Mafhum Mukhalafah
Mafhum al-Mukhâlafah adalah menetapkan kebalikan
dari hukum yang disebut (manthuq) lantaran tidak adanya suatu batasan (qayd)
yang membatasi berlakunya hukum menurut nashnya. Mafhum juga disebut dengan dalîl
al-khithâb, karena dalilnya diambil dari jenis perintah itu sendiri.
Seperti
firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ. (الجمعة:9)
"Hai
orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli". (Al-Jum'ah: 9)
Ayat di atas secara tekstual (mantuq)
menerangkan haramnya transaksi jual beli pada saat sudah dikumandangkan shalat
jum'at. Dari ayat tersebut pula dapat diambil kefahaman bahwa sebelum
dikumandangkan shalat jum'at atau sesudah dilakukanya shalat jum'ah diperbolehkan
berjualan. Kefahaman hukum tersebut disebut mafhum mukhalafah. Karena hukum
mantuq berbeda denan hukum mafhum.
2.2
Macam-macam
Mafhum Mukhalafah
1. Mafhum Sifat
a.
definisinya
yaitu pebunjukan
suatu kata yang dibatasi dengan suatu sifat yang berlawanan hukumnya ketika
sifat itu sudah berakhir.
b.
contohnya
Sabda Rasulullah SAW
tentang unta : “Pada unta yang tidak dicarikan makanan, di setiap lima ekor
wajib mengelurkan zakat satu ekor”.
1)
Manthuq (yang disebutkan) oleh
hadits itu adalah kewajiban mengeluarkan zakat pada unta yang digembalakan.
2)
Mafhum mukholafah hadits itu
adalah bahwa onta yang dicarikan makanan oleh pemiliknnya tidak wajib
dikeluarkan zakatnya.
2. Mafhum Syarat
a.
definisinya
yaitu bahwa
penggantungan sesuatu dengan syaratnya mengharuskan keberadaan suatu hukum jika
syarat itu ada dan mengharuskan ketiadaan hukum jika syarat itu tidak ada.
b.
contohnya
Firman Allah : إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا (jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti). (Al Hujurat : 6)
1)
Manthuq ayat ini adalah tidak boleh
menerima berita dari orang yang fasik kecuali setelah diadakan penelitian.
2)
Mafhum mukholafah ayat itu
adalah bahwa orang yang tidak fasik (adil) dapat kira terima beritanya dengan
tanpa penelitian.
3.
Mafhum
Ghoyah (Batasan, Tujuan)
a.
definisinya
yaitu suatu
penunjukkan kata yang dibatasi dengan suatu batasan tertentu dimana setelah
batasan itu hukumnya berbeda dengan sebelumnya.
b.
contohnya
Firman Allah : وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ (dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci). (Al Baqoroh : 222)
1)
Manthuq ayat itu bahwa haram
mencampuri istri pada waktu haid
2)
Mafhum ayat itu adalah bahwa boleh
mencampuri istri setelah suci dan bersuci.
4.
Mafhum
‘Adad (Bilangan)
a.
definisinya
yaitu penunjukan
suatu kata yang dibatasi dengan suatu bilangan dimana selain bilangan itu
hukumnya menjadi berbeda denganya.
b.
contohnya
Firman Allah : فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً (maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh
kali dera). (An Nur : 4)
Mafhum
mukhalafah
dari ayat ini adalah tidak beleh melakukan cambuk lebih atau kurang dari
bilangan ini.
5.
Mafhum Al-Hashr
a.
definisnya
yaitu penetapan dari kebalikan suatu hukum dengan
menggunakan lafadz-lafadz al-hashr, seperti lafadz "innamâ,
illâ", dan lain sebagainya.
b.
contohnya
Firman Allah swt. yang berbunyi (انما الله اله واحد) ayat
ini seyara manthuq menunjukkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya terdapat
pada tuhan yang satu yaitu Allah swt. sedangkan dengan mafhum mukhâlafah
dapat dipahami, bahwa sifat ketuhanan itu tidak ada pada selain Allah.
2.3 Syarat-Syarat
Mafhum Mukhalafah
Karena
mafhum mukhalafah adalah proses hukum yang bertentangan dengan hukum mantuq,
maka diperlukan beberapa syarat agar hukum yang ditelorkan menjadi shahih.
Untuk syahnya mafhum mukhalafah diperlukan empat syarat:
1) Mafhum Mukhalafah harus tidak
berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum
muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
وَلاَ تَقْتُلُوا
أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاق [الإسراء :31]
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”. (Q.S. Isra’ ayat 31).
Ayat
tersebut di atas secara tekstual menerangkan haramnya membunuh anak karena
"takut muskin". Mafhum mukhalafah-nya berarti "membunuh anak
tidak karena takut miskin". Dalam hal ini mengambil hukum dari mafhum
mukhalafah tidak diperbolehkan sebab bertentangan dengan dalil mantuq yang lain
yaitu;
وَلَا تَقْتُلُوا
النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَ بِالْحَقِّ. [الإسراء :33]
“Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali
dengan kebenaran". (QS. Isra’:33)”
Berdasarkan
dalil mantuq di atas, baik takut miskin (mantuq) maupun tidak takut miskin
(mafhum) tetap tidak boleh dijadikan alasan membunuh anak.
2) Yang disebutkan (manthuq)
bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Seperti contoh;
وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ. (النساء.
23)
"Dan
anak-anak (tiri) istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri".
(QS. An-Nisa':23)
Secara
tersurat (mantuq) ayat di atas menerangkan bahwa anak tiri yang ikut dipelihara
bersama tidak boleh dinikah. Itu berarti dapat difahami secara berbeda
(mukhalafah) bahwa "anak tiri yang tidak dipelihara bersama boleh
dinikahi". Pemahaman berbeda seperti ini tidak diperbolehkan sebab Allah
mengatakan "yang kamu pelihara" hanya berlaku pada umumnya dimana anak
tiri biasanya dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
3) Lafadz yang disebutkan
(manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Seperti contoh;
قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ
لِسَانِهِ وَيَدِهِ. (رواه البحارى)
“Seorang
muslim ialah orang yang mana muslim lain selamat dari gangguan lisan dan
tangannya". (HR.
Bukhari)
Secara
tersurat bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan menyakiti "muslim"
lainnya baik dengan lisan maupun tanganya. Dari mantuq tersebut tidak
diperbolehkan mengambil hukum berdasarkan kefahaman berbeda (mafhum mukhalafah)
yaitu "diperbolehkan mengganggu orang bukan muslim".
4) Dalil yang di sebutkan harus
berdiri sendiri tidak boleh mengikuti lain. Seperti contoh firman Allah dalam
Al-Baqarah;187:
“Janganlah
kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid”.
(Q.S Al-Baqarah
ayat 187)
Dalil
di atas tidak boleh dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh
mencampuri istrinya. Sebab dia dalam keadaan berpuasa, baik dalam keadaan
iktikaf atau tidak tetap tidak diperbolehkan mencampuri istrinya.
2.4 Kehujjahan Mafhum Mukhalafah
Semua mafhum
mukhalafah yang kami sebutkan itu disepakati oleh para ahli ilmu ushul fiqih
sebagai hujjah pad aselain nash-nash syari’at, maksudnya adalah pad
aungkapan-ungkapan manusia, transaksi-transaksi mereka dan wasiat-wasiat
mereka.
pada nahs-nash
syari’at mereka berselisih menjadi dua buah kelompok.
a.
Madzhab Hanafi
tidak menjadikannya sebagai hujjah.
b.
Madzhab Jumhur
menjadikannya sebagai hujjah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang sangat singkat ini, mungkin dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa, memahami Mafhum Mukhalafah sangatlah penting bagi kehidupan seseorang
demi kebenaran terhadap pemahaman-pemahaman nash-nash al-Qur'an maupun
as-Sunnah.
Akhir kalam, dengan sebuah harapan
semoga makalah yang sangat singkat ini dapat bermanfaat serta membantu dalam
memahami Mafhum Mukhlafah, sehingga pemahaman terhadap teks-teks yang
telah ada sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
1 comment:
maaf saya kurang paham yang pada kalimat "pada umumnya berlaku bagi anak tiri yang dipelihara ayah tiri karna mengikuti ibunya"
Post a Comment