Monday, April 21, 2014

Mafhum Mukhalafah



BAB I.  PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang Masalah

 Segala perintah yang diperintahkan oleh Syari’ baik itu yang terdapat dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah semuanya mempunyai dilâlah yang bermacam-macam serta metode yang berbeda-beda untuk mencetuskan sebuah hukum yang diinginkan oleh Allah swt. Bukan berarti dilâlah lafadz tersebut sudah cukup hanya dengan dipahami dari segi bahasa yang diungkapkan oleh lafad tersebut atau hanya dengan memahami manthuq sharih dari lafad itu sendiri, akan tetapi disamping itu masih terdapat dilâlah lain yang juga dijadikan pegangan oleh para ulama’ Ushul dalam meng-istinbath-kan sebuah hukum, seperti dilalah al-Isyarah, al-Iqtidha’, at-Tanbih, serta tidak sedikit dari para kalangan Ulama itu sendiri yang menggunakan mafhum mukhâlafah.

Ketika seorang mujtahid berkeinginan untuk meng-istinbath­-kan sebuah hukum baik itu yang sudah disinggung dalam nash-nash yang ada maupun yang tidak disinggung sama sekali, maka terlebih dahulu ia harus mengetahui atau mempelajari alat-alat yang dapat membawanya pada hukum tersebut. Alat-alat inilah yang oleh kalangan ulama’ Ushul disebut dengan “ Dilalah Lafdziyah “.

Dalam makalah yang sederhana ini penulis ingin mencoba untuk menguraikan sedikit tentang mafhum Mukhalafah sesuai dengan cara yang diterapkan oleh kalangan ulama’ ahli kalam (al-Mutakallimin) dalam menetapkan sebuah hukum sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah dan para Rasul-Nya.

1.2.        Rumusan Masalah
a.       Apa itu Mafhum Mukhalafah dan ada berapa  macamkah Mahfum Mukhlafah ?
b.      Peran penting Mahfum Mukhalafah bagi kehidupan seseorang !

1.3        Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan Penulisan Makalah ini adalah untuk mengetahui bahwa pemahaman Mafhum Mukhalafah sangatlah penting bagi kehidupan seseorang demi kebenaran terhadap pemahaman-pemahaman nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah.
BAB II.  PEMBAHASAN
2.1         Definisi Mafhum Mukhalafah
    Mafhum al-Mukhâlafah adalah menetapkan kebalikan dari hukum yang disebut (manthuq) lantaran tidak adanya suatu batasan (qayd) yang membatasi berlakunya hukum menurut nashnya.  Mafhum juga disebut dengan dalîl al-khithâb, karena dalilnya diambil dari jenis perintah itu sendiri.
Seperti firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ. (الجمعة:9)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli". (Al-Jum'ah: 9)
    Ayat di atas secara tekstual (mantuq) menerangkan haramnya transaksi jual beli pada saat sudah dikumandangkan shalat jum'at. Dari ayat tersebut pula dapat diambil kefahaman bahwa sebelum dikumandangkan shalat jum'at atau sesudah dilakukanya shalat jum'ah diperbolehkan berjualan. Kefahaman hukum tersebut disebut mafhum mukhalafah. Karena hukum mantuq berbeda denan hukum mafhum.
2.2         Macam-macam Mafhum Mukhalafah
1.      Mafhum Sifat
a.       definisinya
yaitu pebunjukan suatu kata yang dibatasi dengan suatu sifat yang berlawanan hukumnya ketika sifat itu sudah berakhir.
b.      contohnya
Sabda Rasulullah SAW tentang unta : “Pada unta yang tidak dicarikan makanan, di setiap lima ekor wajib mengelurkan zakat satu ekor”.
1)       Manthuq (yang disebutkan) oleh hadits itu adalah kewajiban mengeluarkan zakat pada unta yang digembalakan.
2)       Mafhum mukholafah hadits itu adalah bahwa onta yang dicarikan makanan oleh pemiliknnya tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
2.      Mafhum Syarat
a.       definisinya
yaitu bahwa penggantungan sesuatu dengan syaratnya mengharuskan keberadaan suatu hukum jika syarat itu ada dan mengharuskan ketiadaan hukum jika syarat itu tidak ada.
b.      contohnya
Firman Allah : إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا  (jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti). (Al Hujurat : 6)
1)       Manthuq ayat ini adalah tidak boleh menerima berita dari orang yang fasik kecuali setelah diadakan penelitian.
2)       Mafhum mukholafah ayat itu adalah bahwa orang yang tidak fasik (adil) dapat kira terima beritanya dengan tanpa penelitian. 
3.      Mafhum Ghoyah (Batasan, Tujuan)
a.       definisinya
yaitu suatu penunjukkan kata yang dibatasi dengan suatu batasan tertentu dimana setelah batasan itu hukumnya berbeda dengan sebelumnya.
b.      contohnya
Firman Allah : وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ  (dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci). (Al Baqoroh : 222)
1)       Manthuq ayat itu bahwa haram mencampuri istri pada waktu haid
2)       Mafhum ayat itu adalah bahwa boleh mencampuri istri setelah suci dan bersuci.
4.      Mafhum ‘Adad (Bilangan)
a.       definisinya
yaitu penunjukan suatu kata yang dibatasi dengan suatu bilangan dimana selain bilangan itu hukumnya menjadi berbeda denganya.
b.      contohnya
Firman Allah : فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً  (maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera). (An Nur : 4)
Mafhum mukhalafah dari ayat ini adalah tidak beleh melakukan cambuk lebih atau kurang dari bilangan ini.
5.      Mafhum Al-Hashr
a.      definisnya  
yaitu penetapan dari kebalikan suatu hukum dengan menggunakan lafadz-lafadz al-hashr, seperti lafadz "innamâ, illâ", dan lain sebagainya.
b.      contohnya
Firman Allah swt. yang berbunyi (انما الله اله واحد) ayat ini seyara manthuq menunjukkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya terdapat pada tuhan yang satu yaitu Allah swt. sedangkan dengan mafhum mukhâlafah dapat dipahami, bahwa sifat ketuhanan itu tidak ada pada selain Allah.  

2.3   Syarat-Syarat Mafhum Mukhalafah
Karena mafhum mukhalafah adalah proses hukum yang bertentangan dengan hukum mantuq, maka diperlukan beberapa syarat agar hukum yang ditelorkan menjadi shahih. Untuk syahnya mafhum mukhalafah diperlukan empat syarat:
1)      Mafhum Mukhalafah harus tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاق [الإسراء :31]
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskin­an”. (Q.S. Isra’ ayat 31).
Ayat tersebut di atas secara tekstual menerangkan haramnya membunuh anak karena "takut muskin". Mafhum mukhalafah-nya berarti "membunuh anak tidak karena takut miskin". Dalam hal ini mengambil hukum dari mafhum mukhalafah tidak diperbolehkan sebab bertentangan dengan dalil mantuq yang lain yaitu;
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَ بِالْحَقِّ. [الإسراء :33]
“Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran". (QS. Isra’:33)”
Berdasarkan dalil mantuq di atas, baik takut miskin (mantuq) maupun tidak takut miskin (mafhum) tetap tidak boleh dijadikan alasan membunuh anak.
2)      Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Seperti contoh;
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ. (النساء. 23)
"Dan anak-anak (tiri) istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri". (QS. An-Nisa':23)
Secara tersurat (mantuq) ayat di atas menerangkan bahwa anak tiri yang ikut dipelihara bersama tidak boleh dinikah. Itu berarti dapat difahami secara berbeda (mukhalafah) bahwa "anak tiri yang tidak dipelihara bersama boleh dinikahi". Pemahaman berbeda seperti ini tidak diperbolehkan sebab Allah mengatakan "yang kamu pelihara" hanya berlaku pada umumnya dimana anak tiri biasanya dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
3)      Lafadz yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Seperti contoh;
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ. (رواه البحارى)
“Seorang muslim ialah orang yang mana muslim lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya". (HR. Bukhari)
Secara tersurat bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan menyakiti "muslim" lainnya baik dengan lisan maupun tanganya. Dari mantuq tersebut tidak diperbolehkan mengambil hukum berdasarkan kefahaman berbeda (mafhum mukhalafah) yaitu "diperbolehkan mengganggu orang bukan muslim".
4)      Dalil yang di sebutkan harus berdiri sendiri tidak boleh mengikuti lain. Seperti contoh firman Allah dalam Al-Baqarah;187:
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid”. (Q.S Al-Baqarah ayat 187)
Dalil di atas tidak boleh dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri istrinya. Sebab dia dalam keadaan berpuasa, baik dalam keadaan iktikaf atau tidak tetap tidak diperbolehkan mencampuri istrinya.



2.4   Kehujjahan Mafhum Mukhalafah
Semua mafhum mukhalafah yang kami sebutkan itu disepakati oleh para ahli ilmu ushul fiqih sebagai hujjah pad aselain nash-nash syari’at, maksudnya adalah pad aungkapan-ungkapan manusia, transaksi-transaksi mereka dan wasiat-wasiat mereka.
pada nahs-nash syari’at mereka berselisih menjadi dua buah kelompok.
a.       Madzhab Hanafi tidak menjadikannya sebagai hujjah.
b.      Madzhab Jumhur menjadikannya sebagai hujjah.

 BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Dari pembahasan yang sangat singkat ini, mungkin dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, memahami Mafhum Mukhalafah  sangatlah penting bagi kehidupan seseorang demi kebenaran terhadap pemahaman-pemahaman nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah.  
            Akhir kalam, dengan sebuah harapan semoga makalah yang sangat singkat ini dapat bermanfaat serta membantu dalam memahami Mafhum Mukhlafah, sehingga pemahaman terhadap teks-teks yang telah ada sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.  

 DAFTAR PUSTAKA

1 comment:

Hanuna said...

maaf saya kurang paham yang pada kalimat "pada umumnya berlaku bagi anak tiri yang dipelihara ayah tiri karna mengikuti ibunya"