Thursday, September 11, 2014

PENELITIAN BIMBINGAN KONSELING (PTBK): UPAYA PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR SISWA MELALUI KONSELING KELOMPOK PADA SMP S MA’HAD MIFTAHUL ULUM




BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Sekolah  atau lembaga pendidikan mempunyai aturan sebagai  tata tertib yang  berisi perintah dan larangan yang harus di taati oleh seluruh warga sekolah baik, siswa, guru atau karyawan. Aturan atau tata tertib yang berlaku wajib ditaati dan bagi yang melanggar akan mendapatkan sanksi yang telah ditetapkan sesuai dengan jenis pelanggaran. Dalam kehidupan manusia aturan atau tata tertib baik  baik didalam lembaga pemerintah maupun swasta baik lingkup kecil maupun luas bahkan dilingkup keluarga, masyarakatpun aturan selalu dibuat. Bahkan aturan yang telah disepakati bersama dan diperkuat dengan kepercayaan dibakukan menjadi budaya.
Dalam lingkup pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa ”Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang beriman bertaqawa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sabar, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai mahluk sosial, tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Mereka saling membutuhkan antara satu sama lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dalam hidup bersama perlu adanya suatu interaksi yaitu proses timbal balik yang bertujuan mendewasakan manusia agar nantinya dapat menemukan jati dirinya secara utuh.
Untuk dapat memahami interaksi itulah secara khusus dikenal istilah interaksi belajar-mengajar yang titik penekanannya ada pada motivasi. Motivasi inilah yang mendorong seseorang untuk melakukan sebuah pekerjaan maupun kegiatan seperti halnya belajar. Hasil belajar akan menjadi optimal jika ada motivasi belajar. Dengan  motivasi, pelajar dapat mengembangkan aktivitas dan inisiatif kearah yang lebih baik. Jadi motivasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia, demikian pentingnya sampai ada pernyataan bahwa “motivasi adalah energi yang dimiliki seseorang untuk belajar” (Sardiman, 2010 : 73).
Seorang pelajar harus diberi sebuah pemahaman tentang tujuan belajar yang sedang ia tempuh untuk dapat meningkakan motivasi belajarnya. Pemberian pemahaman tentang pentingnya tujuan belajar masih sangat sulit untuk dipahami oleh siswa pada umumnya. Sehingga dibutuhkan layanan-layanan yang bisa membantu siswa dalam menyelesaikan konflik yang ada pada dirinya. Salah satunya ada pada layanan bimbingan dan konseling. Bimbingan dan Konseling memiliki tujuh layanan yang merupakan kegiatan bantuan dan tuntunan yang diberikan kepada individu pada umumnya dan siswa sekolah pada khususnya dalam rangka meningkatkan mutunya.
Dari pengamatan yang ada penulis mengangap layanan konseling kelompok akan jauh lebih efektif dibandingkan dengan layanan yang lainnya. Karena dari pengalaman yang terjadi dilapangan siswa sudah mulai merasa bosan dan jenuh dengan penggunaan layanan-layanan klasikal sehingga diperlukan sebuah layanan yang melibatkan partisipasi keseluruhan. Sedangkan pengunaan layanan konseling individu kadangkala diangap negatif oleh siswa kerena siswa dipangil secara pibadi dan mendapatkan pandangan yang buruk dari siswa-siswa lainya.
Layanan konseling kelompok merupakan upaya bantuan untuk dapat memecahkan masalah siswa dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Apabila dinamika kelompok dapat terwujud dengan baik maka anggota kelompok akan saling menolong, menerima dan berempati dengan tulus. Konseling kelompok merupakan wahana untuk menambah penerimaan diri dan orang lain, menemukan alternatif cara penyelesaian masalah dan mengambil keputusan yang tepat dari konflik yang dialamimya dan untuk meningkatkan tujuan diri, otonomi dan rasa tanggung jawab pada diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian konseling kelompok memberikan kontribusi yang penting dalam memotivasi siswa, apalagi masalah motivasi diri merupakan masalah yang banyak dialami oleh siswa sehingga untuk mengefisiensikan waktu konseling kelompok dimungkinkan lebih efektif dibandingkan layanan konseling individual.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Upaya Peningkatan Motivasi Belajar Siswa Melalui Konseling Kelompok Pada SMP S Ma’had Miftahul Ulum”.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka yang menjadi rumusan masalah adalah: “Apakah Ada Peningkatan Motivasi Belajar Siswa SMP S Ma’had Miftahul Ulum Melalui Konseling Kelompok?”
1.3.  Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui berapa besar peningkatan motivasi belajar siswa SMP S Ma’had Miftahul Ulum sebelum dan sesudah diberikan layanan konseling kelompok.
1.4.  Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat:
a.        Bagi siswa
1)    Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan memotivasi belajar.
2)    Membangkitkan semangat dan rasa kebersamaan diantara sesama teman.
b.        Bagi Guru
1)    Untuk mengetahui sejauh mana perubahan yang terjadi terhadap  motivasi belajar sebelum dan sesudah pelaksanaan layanan konseling  kelompok.
1.5.  Anggapan Dasar
Berdasarkan permasalahan penelitian yang telah dikemukakan tersebut, maka dapatlah dirumuskan anggapan dasar penelitian bahwa dengan konseling kelompok dapat meningkatkan motivasi belajar siswa SMP S Ma’had Miftahul Ulum.
1.6.  Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Dengan mengunakan metode layanan Konseling Kelompok dapat meningkatkan motivasi belajar siswa SMP S Ma’had Miftahul Ulum.
1.7.     Definisi Operasional
Agar tidak terjadi kesalahan penafsiran dalam penelitian ini maka perlu didefinisikan beberapa istilah berikut:
1.      Konseling kelompok adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu dalam suasana kelompok agar mampu menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang sedang dihadapi dengan mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki secara optimal.
2.      Motivasi belajar adalah suatu motif atau dorongan untuk melakukan suatu kegiatan/pekerjaan guna mencapai tujuan dalam rangka merubah tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungannya baik dari aspek kognitif, afektif maupun psikomotor.

 BAB II
KERANGKA TEORI
2.1. Konseling Kelompok
2.1.1. Pengertian Konseling Kelompok
Menurut Shertzer dan Stone (dalam W.S. Winkel & M.M. Sri Hastuti, 2007 : 590) konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis, yang terpusat pada pemikiran dan perilaku yang disadari.
Menurut Rochman Natawidjaja (dalam Mungin Eddy Wibowo, 2005 : 32) yang mengemukakan bahwa konseling kelompok merupakan upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan, dan diarahkan kepada pemberian kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhannya.
Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu dalam suasana kelompok agar mampu menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang sedang dihadapi dengan mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki secara optimal.
2.1.2.      Tujuan Konseling Kelompok
Menurut Gerald Corey (dalam W.S. Winkel & M.M Sri Hastuti, 2007 : 592) tujuan secara umum dari konseling kelompok adalah sebagai berikut :
a.       Para konseling memperoleh kemampuan mengatur dirinya sendiri dan mengarahkan hidupnya sendiri, mula-mula dalam kontak antar pribadi  di dalam kelompok dan kemudian juga dalam kehidupan sehari-hari di luar lingkungan kelompoknya.
b.       Para konseling mengembangkan kemampuan berkomunikasi satu sama lain, sehingga mereka dapat saling memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan yang khas untuk fase perkembangan mereka.
c.       Masing-masing konseling memahami dirinya dengan lebih baik dan lebih terbuka terhadap aspek-aspek positif dalam kepribadiannya.
d.       Para konseling menjadi lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan lebih mampu menghayati perasaan orang lain.
e.       Masing-masing konseling menetapkan suatu sasaran yang ingin mereka capai, yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang lebih konstruktif.
Berdasarkan dari beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan konseling kelompok adalah memberikan bantuan kepada konseli agar mereka mampu memahami dan menerima dirinya serta mengambil keputusan sendiri atas masalah-masalah yang dihadapi yang berkaitan dengan masalah pribadi, sosial, belajar dan karir.
2.1.3.        Proses Konseling Kelompok
Gerald Corey (dalam Mungin Eddy Wibowo, 2005:85) mendefinisikan proses konseling kelompok sebagai tahap-tahap perkembangan suatu kelompok dan karakteristik setiap tahap. Terdapat keragaman dalam mengklasifikasikan dan menamai tahapan-tahapan dalam proses konseling kelompok oleh beberapa para ahli yaitu antara lain:
Menurut Gerald Corey ada 4 tahapan dalam proses konseling kelompok yaitu :
a.        Tahap orientasi
b.        Tahap transisi
c.        Tahap kerja
d.        Tahap konsolidasi
Menurut Jacobs, Harvill & Masson mengelompokkan tahapan proses konseling kelompok menjadi 3 tahap yaitu :
a.        Tahap permulaan
b.        Tahap pertengahan atau tahap kerja
c.        Tahap pengakhiran atau tahap penutupan
Menurut Gibson & Mitchell mengklasifikasikan proses konseling kelompok kedalam 5 tahap yaitu :
a.    Tahap pembentukan kelompok
b.    Tahap identifikasi
c.    Tahap produktivitas
d.   Tahap realisasi
e.    Tahap terminasi
Meskipun para ahli berbeda dalam mengklasifikasikan tahapan proses konseling kelompok, penjelasan mereka tentang tahap-tahap tersebut menunjukkan adanya kesamaan, yaitu menggambarkan kemajuan dinamika proses kelompok yang dialami oleh kelompok konseling, yaitu mulai dari suasana yang umumnya penuh kekakuan, kebekuan, keraguan, dalam interaksi menuju ke kerjasama dan saling  berbagi pengalaman sampai pada akhirnya sama-sama berupaya mengembangkan perilaku baru yang lebih tepat berkenaan dengan persoalan masing-masing.
Berdasarkan pengklasifikasian proses konseling kelompok yang dikemukakan oleh berbagai ahli tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ada 4 tahapan dalam proses konseling kelompok yaitu sebagai berikut :
a.       Tahap permulaan, yaitu tahap yang dilakukan sebagai upaya untuk menumbuhkan minat bagi terbentuknya kelompok yang meliputi pemberian penjelasan tentang adanya layanan konseling kelompok bagi para siswa, penjelasan pengertian, tujuan dan kegunaan konseling kelompok, ajakan untuk memasuki dan mengikuti kegiatan, serta kemungkinan adanya kesempatan dan kemudahan bagi penyelenggaraan konseling kelompok.
b.      Tahap transisi, merupakan masa setelah proses pembentukan dan sebelum masa bekerja (kegiatan). Tahap ini yang merupakan proses dua bagian, yang ditandai dengan ekspresi sejumlah emosi dan interaksi anggota.
c.       Tahap kegiatan sering disebut juga sebagai tahap bekerja, tahap penampilan, tahap tindakan, dan tahap pertengahan yang merupakan inti kegiatan konseling kelompok, sehingga memerlukan alokasi waktu yang terbesar dalam keseluruhan kegiatan konseling kelompok.
d.      Tahap pengakhiran, yaitu memberi kesempatan pada anggota kelompok untuk memperjelas arti dari pengalaman mereka, untuk mengkonsolidasi hasil yang mereka buat, dan untuk membuat keputusan mengenai tingkah laku mereka yang ingin dilakukan di luar kelompok dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
2.1.4.      Etika dalam Konseling Kelompok
Menurut Mungin Eddy Wibowo (2005 : 341) etika dalam konseling kelompok adalah etika yang disetujui yang konsisten dengan komitmen etika dalam arti yang lebih luas (politik, moral dan agama) yang kita anggap masuk akal dan yang bisa diterapkan oleh klien maupun pihak pemberi bimbingan. Etika tidak bersifat absolut. Etika bisa berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya. Jika tidak demikian etika-etika bisa menjadi penghambat dan bukan lagi sebagai suatu penuntun untuk pengembangan kerja dan pengembangan diri. Karena ada beberapa etika yang bersifat universal (tidak berubah) dalam bidang hubungan antar manusia. Kode etik untuk bidang tersebut diterima sepanjang waktu.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa etika dalam konseling kelompok merupakan komitmen atau kesepakatan yang disetujui antara konseling dengan konselor yang tidak bersifat absolut sebagai suatu penuntun untuk pengembangan kerja dan pengembangan diri dalam menyelenggarakan konseling kelompok.
2.1.5.      Kekuatan dan Keterbatasan Konseling Kelompok
Menurut Mungin Eddy Wibowo (2005 :41) ada beberapa kekuatan konseling kelompok yaitu antara lain :
a.       Kepraktisan, yaitu dalam waktu yang relative singkat konselor dapat berhadapan dengan sejumlah siswa di dalam kelompok dalam upaya untuk membantu memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan pencegahan, pengembangan pribadi dan pengentasan masalah.
b.      Dalam konseling kelompok anggota akan belajar untuk berlatih tentang prilaku yang baru.
c.       Anggota kelompok mempunyai kesempatan untuk saling memberi bantuan, menerima bantuan dan berempati dengan tulus didalam konseling kelompok.
d.      Melalui konseling kelompok, individu-individu mencapai tujuannya dan berhubungan dengan individu-individu lain dengan cara yang produktif dan inovatif.
e.       Motivasi manusia muncul dari hubungan kelompok kecil. Manusia membutuhkan penerimaan, pengakuan, dan afiliasi, apabila unsur-unsur tersebut terpenuhi semua, maka perilaku, sikap, pendapat dan apa yang disebut cirri-ciri pribadi sebagai ciri unik individu yang berakar dari pola afiliasi kelompok yang menentukan konteks sosial seseorang hidup dan berfungsi dapat mewujudkan melalui intervensi konseling kelompok.
f.        Dalam konseling kelompok terdapat kesempatan luas untuk berkomunikasi dengan teman-teman mengenai segala kebutuhan yang terfokus pada pengembangan pribadi, pencegahan, dan pengentasan masalah yang dialami oleh setiap anggota.
g.       Konseling kelompok member kesempatan para anggota untuk mempelajari keterampilan sosial.
Selain memiliki kekuatan, konseling kelompok juga memiliki keterbatasan yaitu sebagai berikut :
a.       Tidak semua siswa cocok berada dalam kelompok, beberapa diantaranya membutuhkan perhatian dan intervensi individual.
b.      Tidak semua siswa siap atau bersedia untuk bersikap terbuka dan jujur mengemukakan isi hatinya terhadap teman-temannya di dalam kelompok, lebih-lebih yang akan dikatakan terasa memalukan bagi dirinya.
c.       Persoalan pribadi satu-dua anggota kelompok makin kurang mendapat perhatian dan tanggapan bagaimana mestinya, karena perhatian kelompok terfokus pada persoalan pribadi anggota yang lain, sebagai akibatnya siswa tidak akan merasa puas.
d.      Sering siswa mengharapkan terlalu banyak bantuan dari kelompok, sehingga tidak berusaha untuk berubah.
e.       Sering kelompok bukan dijadikan sarana untuk berlatih melakukan perubahan, tapi justru dipakai sebagai tujuan.
Berdasarkan dari pendapat tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam konseling kelompok terdapat kekuatan dan keterbatasan yang harus diperhatikan agar penyelenggaraan konseling kelompok dapat terarah dan berjalan secara lancar serta sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

2.2.      Motivasi Belajar
2.2.1. Pengertian Motivasi Belajar
Menurut Mc. Donald (dalam Sardiman, 2010 : 73) motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.
Menurut Oemar Hamalik (2007 : 28), belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungannya. Aspek tingkah laku tersebut adalah: pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etis atau budi pekerti dan sikap. Sedangkan, Sardiman A.M. (2010 : 22) mengatakan bahwa “belajar merupakan suatu proses interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya yang mungkin berwujud pribadi, fakta, konsep ataupun teori”.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar adalah suatu motif atau dorongan untuk melakukan suatu kegiatan/pekerjaan guna mencapai tujuan dalam rangka merubah tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungannya baik dari aspek kognitif, afektif maupun psikomotor.
2.2.2. Prinsip-Prinsip Motivasi Belajar
Menurut Kenneth H. Hover (dalam Oemar Hamalik, 2007 : 163) mengemukakan prinsip-prinsip motivasi belajar sebagai berikut :
a.        Pujian lebih efektif daripada hukuman.
b.        Semua murid-murid mempunyai kebutuhan-kebutuhan psikologis (yang bersifat dasar) tertentu yang harus mendapat kepuasan.
c.        Motivasi yang berasal dari dalam individu lebih efektif daripada motivasi yang dipaksakan dari luar.
d.        Motivasi itu mudah menjalar atau tersebar terhadap orang lain.
e.        Pemahaman yang jelas terhadap tujuan-tujuan yang akan merangsang motivasi.
f.          Motivasi yang besar erat hubungannya dengan kreativitas murid.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya proses belajar akan mendapatkan hasil yang lebih maksimal jika pemberian motivasi dapat diterima oleh siswa didik dengan baik.
2.2.3. Fungsi Motivasi Belajar
Menurut Sardiman A.M. (2010 : 85) ada tiga fungsi motivasi belajar yaitu sebagai berikut:
a.       Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
b.      Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
c.       Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Dari pendapat yang ada dapat disimpulkan bahwa fungsi dari motivasi itu sendiri adalah sebagai motor pengerak kemana dan bagaimana perbuatan yang akan dilaksanakan.
2.2.4. Macam-Macam Motivasi Belajar
Menurut Frandsen (dalam Sardiman A.M. (2010 : 87) macam- macam motivasi belajar dilihat yaitu antara lain :
a.       Cognitive motives, motif ini menunjuk pada gejala intrinsik, yakni menyangkut kepuasan individual.
b.      Self-expression, penampilan diri adalah sebagian dari perilaku manusia. Yang penting kebutuhan individu itu tidak sekedar tahu mengapa dan bagaimana sesuatu itu terjadi, tetapi juga mampu membuat suatu kejadian.
c.       Self-enhancement, melalui aktualisasi diri dan pengembangan kompetensi akan meningkatkan kemajuan diri seseorang.
Menurut Woodworth dan Marquis (dalam Sardiman A.M. (2010 : 88) macam- macam motivasi belajar dilihat yaitu antara lain :
a.       Motif atau kebutuhan organis, meliputi misalnya : kebutuhan untuk minum, makan, bernafas, seksual, berbuat dan kebutuhan untuk beristirahat.
b.      Motif-motif darurat yang meliputi : dorongan untuk menyelamatkan diri, dorongan untuk membalas, untuk berusaha, untuk memburu.
c.       Motif-motif objektif yang meliputi : kebutuhan untuk melakukan eksplorasi, melakukan manipulasi, untuk menaruh minat.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwasanya, motivasi terjadi karena 2 faktor. Yaitu faktor yang berasal dari diri sendiri ( intern ) dan faktor yang berasal dari luar diri seseorang ( ekstrinsik )
2.2.5. Ciri-Ciri Motivasi
Menurut Sardiman A.M. (2010 : 83) bahwa setiap tindakan manusia terjadi karena adanya unsur pribadi manusia. Sehingga terdapat ciri-ciri tersendiri dalam motivasi yaitu :
a.       Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus-menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai).
b.      Ulet menghadapi kesulitan. Tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang telah dicapai).
c.       Menunjukan minat terhadap bermacam-macam masalah (Misalnya masalah pembangunan, agama, politik, ekonomi, keadilan, korupsi, dan sebagainya).
d.      Lebih senang bekerja sendiri.
e.       Cepat bosan dengan tugas-tugas rutin (hal-hal yang berulang begitu saja sehingga kurang kreatif).
f.        Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu).
g.       Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu.
h.       Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal
Berdasarkan hal tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam kegiatan belajar mengajar akan berhasil baik jika siswa mampu tekun mengerjakan tugas, ulet dalam memecahkan masalah serta hambatan secara mandiri.
2.2.6. Bentuk-Bentuk Motivasi Belajar
Menurut Sardiman A.M. (2010 : 91) ada beberapa bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah yaitu :
a.    Memberi angka
Angka dalam hal ini sebagai simbol dari nilai kegiatan belajarnya. Banyak siswa yang belajar, yang utama justru untuk mencapai angka/nilai yang baik. Angka-angka yang baik itu bagi para siswa merupakan motivasi yang sangat kuat.
b.  Ego-involvement
Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri, adalah sebagai salah satu bentuk motivasi yang cukup penting.
c.   Mengetahui hasil
Dengan mengetahui hasil pekerjaan, apalagi kalau terjadi kemajuan, akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar. Semakin mengetahui bahwa grafik hasil belajar meningkat, maka ada motivasi pada diri siswa untuk terus belajar, dengan suatu harapan hasilnya terus meningkat.
d.  Memberi ulangan
Para siswa akan menjadi giat belajar kalau mengetahui aka nada ulangan. Oleh karena itu, memberi ulangan ini juga merupakan sarana motivasi.
e.  Hadiah
Hadiah dapat juga dikatakan sebagai motivasi, tetapi tidaklah selalu demikian. Karena hadiah untuk suatu pekerjaan, mungkin tidak akan menarik bagi seseorang yang tidak senang dan tidak berbakat untuk sesuatu pekerjaan tersebut. Sebagai contoh hadiah yang diberikan untuk gambar yang terbaik mungkin tidak akan menarik bagi seseorang yang tidak memiliki bakat menggambar.
f.  Saingan/kompetisi
Saingan atau kompetisi dapat digunakan sebagai alat motivasi untuk mendorong belajar siswa. Persaingan, baik persaingan individual maupun persaingan kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
g.  Pujian
Apabila ada siswa yang sukses yang berhasil menyelesaikan tugas dengan baik, perlu diberikan pujian. Pujian ini adalah bentuk reinforcement yang positif dan sekaligus merupakan motivasi yang baik. Oleh karena itu, supaya pujian ini merupakan motivasi, pemberiannya harus tepat.
h.  Minat
Motivasi muncul karena ada kebutuhan, begitu juga minat sehingga tepatlah kalau minat merupakan alat motivasi yang pook. Proses belajar itu akan berjalan lancar kalau disertai dengan minat.
i.  Hukuman
Hukuman sebagai reinforcement yang negatif tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi.
j.   Hasrat untuk belajar
Hasrat untuk belajar, berarti ada unsure kesengajaan, ada maksud untuk belajar. Hal ini akan lebih baik, bila dibandingkan segala sesuatu kegiatan yang tanpa maksud. Hasrat untuk belajar berarti pada diri anak didik itu memang ada motivasi untuk belajar, sehingga sudah barang tentu hasilnya akan lebih baik.
k.  Tujuan yang diakui
Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik oleh siswa, akan merupakan alat motivasi yang sangat penting. Sebab dengan memahami tujuan yang harus dicapai, karena diras asangat berguna dan menguntungkan, maka akan timbul gairah untuk terus belajar.
Berdasarkan hal itu maka dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk-bentuk motivasi merupakan sarana untuk dapat mengarahkan dan mengerakan perilaku manusia dari perilaku tertentu diubah menjadi perilaku yang berbeda.
 BAB III
METODE PENELITIAN

3.1.       Populasi dasar Penelitian
Menurut Suharsimi Arikunto (2002:108), populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Populasi dibatasi sebagai sejumlah penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai sifat yang sarna. Pengertian di atas mengandung maksud bahwa populasi dalam penelitian ini adalah seluruh individu yang akan di.jadikan subyek penelitian dan keseluruhan dari individu itu harus memiliki paling tidak satu sifat yang sama. Adapun populasi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.      Usia rata-rata antara 13 s/d 15 tahun
2.      Jenis kelamin laki-laki dan perempuan
3.      Siswa/siswi yang perlu konseling pada SMP S Ma’had Miftahul Ulum
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka dalam penelitian ini populasinya adalah siswa/siswi yang memerlukan konseling.

3.2.   Sampel dan Teknik Sampling
Menurut Suharsimi Arikunto (2002:112), sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Untuk penentuan jumlah sampel berpedoman pada yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto (2002:112) bahwa apabila subyeknya kurang dari 100 lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10 s/d 15% atau 20 s/d 25% atau lebih.
Adapun dalam penelitian ini cara pengambilan sampel adalah dengan cara total sampling yaitu mengikutsertakan semua individu atau anggota populasi menjadi sampel (Suharsimi Arikunto, 2002:112). Sehingga mengikutsertakan semua siswa/siswi yang memerlukan konseling  pada SMP S Ma’had Miftahul Ulum.

3.3.       Rincian Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam tiga siklus dengan masing-masing siklus dilaksanakan dalam empat tahap. Tahap-tahap tersebut merupakan tahap perencanaan, pelaksanaaan, pengamatan (observasi) dan refleksi.
a)    Perencanaan
Dalam tahapan ini disusun perencanaan pembelajaran untuk perbaikan pembelajaran. Dimana bukan hanya berisi tentang tujuan yang harus dicapai tetapi juga harus lebih ditonjolkan perlakuan khusus yang harus diberikan.
Pada tahap ini langkah-langkahnya sebagai berikut :
a.       Menganalisis efektifitas waktu belajar.
b.      Membuat need assesment.
c.       Membuat satuan layanan konseling kelompok.
d.      Membuat modul/rangkuman materi yang akan diberikan ke siswa yakni motivasi belajar.
e.       Menyusun alat evaluasi (skala penilaian).
f.        Menyiapkan lembar observasi.
g.       Memilih video yang sesuai untuk dapat memotivasi siswa.
h.       Menyiapkan permainan.

b) Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan tindakan adalah perlakuan yang dilaksanakan peneliti berdasarkan perencanaan yang telah disusun. Tindakan adalah perlakuan yang dilaksanakan oleh peneliti sesuai dengan fokus masalah. Tindakan ini adalah inti dari penelitian, sebagai upaya meningkatkan kinerja guru untuk menyelesaikan masalah.
Tahap pelaksanaan tindakan meliputi langkah-langkah sebagai berikut :
a.       Tahap pemulaan, yaitu upaya penumbuhan minat bersama dalam Konseling.
b.      Tahap transisi, yaitu proses pembentukan interaksi.
c.       Tahap kegiatan sharing yang merupakan inti proses konseling.
d.      Tahap pengakhiran, yaitu membuat suatu kesimpulan.
c) Pengamatan (observasi)
Observasi dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang proses pembelajaran yang dilakukan peneliti sesuai dengan tindakan yang telah disusun. Melalui observasi peneliti dapat mencatat berbagai kelemahan dan kekuatan yang dilakukan guru dalam melaksanakan tindakan, sehingga hasilnya dapat dijadikan masukan ketika peneliti melakukan refleksi untuk penyusunan rencana ulang memasuki putaran atau siklus berikutnya.
Pengamatan dilakukan oleh guru yang dibantu oleh rekan sejawat atau guru mitra selama proses kegiatan konseling berlangsung. Adapun hal-hal yang diamati meliputi :
a.        Ketekunan menghadapi tugas
b.       Ulet menghadapi kesulitan.
c.        Menunjukan minat terhadap bermacam-macam masalah
d.       Lebih senang bekerja sendiri
e.        Cepat bosan dengan tugas-tugas rutin. Hal-hal yang berulang begitu saja sehingga kurang kreatif.
f.         Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu)
g.        Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu.
h.        Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal
d) Refleksi
Refleksi adalah aktivitas melihat berbagai kekurangan yang dilaksanakan peneliti selama tindakan. Refleksi dilakukan dengan melakukan diskusi dengan observer yang biasanya dilakukan oleh teman sejawat. Dari hasil refleksi, guru dapat mencatat segala kekurangan yang perlu diperbaiki, sehingga dapat dijadikan dasar dalam penyusunan rencana ulang.
Setelah melakukan proses pembelajaran, masih ditemukan kekurangan      dari segi peneliti maupun yang diteliti. Kekurangan tersebut misalnya :
a.         Guru belum mampu motivasi siswa untuk dapat menyelesaikan masalah yang menggangu konsentrasi belajarnya.
b.        Mengelola waktu belum efektif
c.         Proses konseling kelompok belum bisa merasakan empati antar konseling


3.4.  Analisa Data
Agar setiap data dapat memberikan informasi yang jelas sehingga mudah dipahami, maka data tersebut perlu disajikan dalam berbagai bentuk penyajian.
Bentuk-bentuk penyajian data yang digunakan antara lain :

1)      Data dalam bentuk tabel
Tabel adalah bentuk penyajian data untuk mengambarkan keadaan sesuatu. Biasanya sebuah tabel terdiri atas judul kolom, judul baris, dan sumber data.
2)      Data dalam bentuk Diagram atau Grafik
Grafik dapat memvisualkan perkembangan sesuatu dalam kurun waktu atau setiap kegiatan.
    (Sanjaya wina,2009:115)

Teknik analisis data dalam PTK dapat dilakukan dengan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis data kualitatif digunakan untuk menentukan peningkatan proses konseling khususnya berbagi tindakan yang dilakukan peneliti sedangkan analisis data kuantitatif  digunakan untuk peningkatan motivasi belajar matematika siswa sebagai pengaruh dari setiap tindakan yang dilakukan peneliti.
Analisis data dapat dilakukan dalam tiga tahap :
1)      Reduksi Data yaitu kegiatan menyeleksi data disesuaikan dengan fokus  masalah.
2)      Mendeskripsikan data sehingga data yang telah diorganisir menjadi  bermakna.
3)      Membuat kesimpulan berdasarkan deskripsi data.
     (Sanjaya wina,2009:107)
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan praktek.  Jakarta: Rineka Cipta.
http://bkpemula.blogspot.com/2011/09/ptbk-upaya-peningkatan-motivasi-belajar.html