BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang Masalah
Sekolah atau
lembaga pendidikan mempunyai aturan sebagai tata tertib yang berisi
perintah dan larangan yang harus di taati oleh seluruh warga sekolah baik, siswa,
guru atau karyawan. Aturan atau tata tertib yang berlaku wajib ditaati dan bagi
yang melanggar akan mendapatkan sanksi yang telah ditetapkan sesuai dengan
jenis pelanggaran. Dalam kehidupan manusia aturan atau tata tertib baik
baik didalam lembaga pemerintah maupun swasta baik lingkup kecil maupun
luas bahkan dilingkup keluarga, masyarakatpun aturan selalu dibuat. Bahkan
aturan yang telah disepakati bersama dan diperkuat dengan kepercayaan dibakukan
menjadi budaya.
Dalam lingkup
pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional pada Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa ”Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang beriman
bertaqawa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sabar, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Manusia diciptakan
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai mahluk sosial, tidak bisa hidup tanpa
bantuan orang lain. Mereka saling membutuhkan antara satu sama lainnya dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Dalam hidup bersama perlu adanya suatu interaksi
yaitu proses timbal balik yang bertujuan mendewasakan manusia agar nantinya
dapat menemukan jati dirinya secara utuh.
Untuk dapat memahami
interaksi itulah secara khusus dikenal istilah interaksi belajar-mengajar yang
titik penekanannya ada pada motivasi. Motivasi inilah yang mendorong seseorang
untuk melakukan sebuah pekerjaan maupun kegiatan seperti halnya belajar. Hasil
belajar akan menjadi optimal jika ada motivasi belajar. Dengan motivasi,
pelajar dapat mengembangkan aktivitas dan inisiatif kearah yang lebih baik.
Jadi motivasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, demikian pentingnya sampai ada pernyataan bahwa “motivasi adalah
energi yang dimiliki seseorang untuk belajar” (Sardiman, 2010 : 73).
Seorang pelajar harus
diberi sebuah pemahaman tentang tujuan belajar yang sedang ia tempuh untuk
dapat meningkakan motivasi belajarnya. Pemberian pemahaman tentang pentingnya
tujuan belajar masih sangat sulit untuk dipahami oleh siswa pada umumnya.
Sehingga dibutuhkan layanan-layanan yang bisa membantu siswa dalam
menyelesaikan konflik yang ada pada dirinya. Salah satunya ada pada layanan
bimbingan dan konseling. Bimbingan dan Konseling memiliki tujuh layanan yang
merupakan kegiatan bantuan dan tuntunan yang diberikan kepada individu pada
umumnya dan siswa sekolah pada khususnya dalam rangka meningkatkan mutunya.
Dari pengamatan yang
ada penulis mengangap layanan konseling kelompok akan jauh lebih efektif
dibandingkan dengan layanan yang lainnya. Karena dari pengalaman yang terjadi
dilapangan siswa sudah mulai merasa bosan dan jenuh dengan penggunaan
layanan-layanan klasikal sehingga diperlukan sebuah layanan yang melibatkan
partisipasi keseluruhan. Sedangkan pengunaan layanan konseling individu
kadangkala diangap negatif oleh siswa kerena siswa dipangil secara pibadi dan
mendapatkan pandangan yang buruk dari siswa-siswa lainya.
Layanan konseling
kelompok merupakan upaya bantuan untuk dapat memecahkan masalah siswa dengan
memanfaatkan dinamika kelompok. Apabila dinamika kelompok dapat terwujud dengan
baik maka anggota kelompok akan saling menolong, menerima dan berempati dengan
tulus. Konseling kelompok merupakan wahana untuk menambah penerimaan diri dan
orang lain, menemukan alternatif cara penyelesaian masalah dan mengambil
keputusan yang tepat dari konflik yang dialamimya dan untuk meningkatkan tujuan
diri, otonomi dan rasa tanggung jawab pada diri sendiri dan orang lain. Dengan
demikian konseling kelompok memberikan kontribusi yang penting dalam memotivasi
siswa, apalagi masalah motivasi diri merupakan masalah yang banyak dialami oleh
siswa sehingga untuk mengefisiensikan waktu konseling kelompok dimungkinkan
lebih efektif dibandingkan layanan konseling individual.
Berdasarkan uraian di
atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Upaya
Peningkatan Motivasi Belajar Siswa Melalui Konseling Kelompok Pada SMP S Ma’had
Miftahul Ulum”.
1.2.Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang masalah, maka yang menjadi rumusan masalah adalah: “Apakah Ada Peningkatan Motivasi
Belajar Siswa SMP S Ma’had Miftahul Ulum Melalui Konseling Kelompok?”
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan
masalah, maka tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui berapa besar peningkatan motivasi belajar
siswa SMP
S Ma’had Miftahul Ulum
sebelum dan sesudah diberikan layanan konseling kelompok.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini
diharapkan bermanfaat:
a.
Bagi siswa
1) Sebagai upaya untuk
mengatasi permasalahan memotivasi belajar.
2) Membangkitkan
semangat dan rasa kebersamaan diantara sesama teman.
b.
Bagi Guru
1)
Untuk mengetahui sejauh mana perubahan yang terjadi terhadap
motivasi belajar sebelum dan sesudah pelaksanaan layanan konseling
kelompok.
1.5. Anggapan Dasar
Berdasarkan
permasalahan penelitian yang telah dikemukakan tersebut, maka dapatlah
dirumuskan anggapan dasar penelitian bahwa dengan konseling kelompok dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa SMP S Ma’had Miftahul Ulum.
1.6. Hipotesis
Hipotesis dalam
penelitian ini adalah “Dengan mengunakan metode layanan Konseling Kelompok
dapat meningkatkan motivasi belajar siswa SMP S Ma’had Miftahul Ulum.
1.7. Definisi Operasional
Agar
tidak terjadi kesalahan penafsiran dalam penelitian ini maka perlu
didefinisikan beberapa istilah berikut:
1.
Konseling kelompok adalah suatu proses
pemberian bantuan kepada individu dalam suasana kelompok agar mampu
menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang sedang dihadapi dengan mengembangkan
kemampuan-kemampuan yang dimiliki secara optimal.
2.
Motivasi belajar adalah suatu motif atau
dorongan untuk melakukan suatu kegiatan/pekerjaan guna mencapai tujuan dalam rangka merubah tingkah laku individu melalui interaksi
dengan lingkungannya baik dari aspek kognitif, afektif maupun psikomotor.
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1. Konseling
Kelompok
2.1.1. Pengertian Konseling Kelompok
Menurut Shertzer dan Stone (dalam W.S. Winkel
& M.M. Sri Hastuti, 2007 : 590) konseling kelompok adalah suatu proses
antar pribadi yang dinamis, yang terpusat pada pemikiran dan perilaku yang
disadari.
Menurut Rochman Natawidjaja (dalam Mungin Eddy
Wibowo, 2005 : 32) yang mengemukakan bahwa konseling kelompok merupakan upaya
bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan
penyembuhan, dan diarahkan kepada pemberian kemudahan dalam rangka perkembangan
dan pertumbuhannya.
Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok adalah suatu proses pemberian
bantuan kepada individu dalam suasana kelompok agar mampu menyelesaikan sendiri
masalah-masalah yang sedang dihadapi dengan mengembangkan kemampuan-kemampuan
yang dimiliki secara optimal.
2.1.2. Tujuan Konseling Kelompok
Menurut
Gerald Corey (dalam W.S. Winkel & M.M Sri Hastuti, 2007 : 592) tujuan
secara umum dari konseling kelompok adalah sebagai berikut :
a. Para
konseling memperoleh kemampuan mengatur dirinya sendiri dan mengarahkan
hidupnya sendiri, mula-mula dalam kontak antar pribadi di dalam kelompok
dan kemudian juga dalam kehidupan sehari-hari di luar lingkungan kelompoknya.
b. Para
konseling mengembangkan kemampuan berkomunikasi satu sama lain, sehingga mereka
dapat saling memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan
yang khas untuk fase perkembangan mereka.
c. Masing-masing
konseling memahami dirinya dengan lebih baik dan lebih terbuka terhadap aspek-aspek
positif dalam kepribadiannya.
d. Para
konseling menjadi lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan lebih mampu
menghayati perasaan orang lain.
e. Masing-masing
konseling menetapkan suatu sasaran yang ingin mereka capai, yang diwujudkan
dalam sikap dan perilaku yang lebih konstruktif.
Berdasarkan
dari beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan konseling
kelompok adalah memberikan bantuan kepada konseli agar mereka mampu memahami
dan menerima dirinya serta mengambil keputusan sendiri atas masalah-masalah
yang dihadapi yang berkaitan dengan masalah pribadi, sosial, belajar dan karir.
2.1.3.
Proses Konseling Kelompok
Gerald
Corey (dalam Mungin Eddy Wibowo, 2005:85) mendefinisikan proses konseling
kelompok sebagai tahap-tahap perkembangan suatu kelompok dan karakteristik
setiap tahap. Terdapat keragaman dalam mengklasifikasikan dan menamai
tahapan-tahapan dalam proses konseling kelompok oleh beberapa para ahli yaitu
antara lain:
Menurut
Gerald Corey ada 4 tahapan dalam proses konseling kelompok yaitu :
a.
Tahap orientasi
b.
Tahap transisi
c.
Tahap kerja
d.
Tahap konsolidasi
Menurut
Jacobs, Harvill & Masson mengelompokkan tahapan proses konseling kelompok
menjadi 3 tahap yaitu :
a.
Tahap permulaan
b.
Tahap pertengahan atau tahap kerja
c.
Tahap pengakhiran atau tahap penutupan
Menurut
Gibson & Mitchell mengklasifikasikan proses konseling kelompok kedalam 5
tahap yaitu :
a.
Tahap pembentukan kelompok
b.
Tahap identifikasi
c.
Tahap produktivitas
d.
Tahap realisasi
e.
Tahap terminasi
Meskipun para ahli berbeda dalam
mengklasifikasikan tahapan proses konseling kelompok, penjelasan mereka tentang
tahap-tahap tersebut menunjukkan adanya kesamaan, yaitu menggambarkan kemajuan
dinamika proses kelompok yang dialami oleh kelompok konseling, yaitu mulai dari
suasana yang umumnya penuh kekakuan, kebekuan, keraguan, dalam interaksi menuju
ke kerjasama dan saling berbagi pengalaman sampai pada akhirnya sama-sama
berupaya mengembangkan perilaku baru yang lebih tepat berkenaan dengan
persoalan masing-masing.
Berdasarkan pengklasifikasian proses konseling
kelompok yang dikemukakan oleh berbagai ahli tersebut diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa ada 4 tahapan dalam proses konseling kelompok yaitu sebagai
berikut :
a. Tahap permulaan, yaitu tahap yang dilakukan
sebagai upaya untuk menumbuhkan minat bagi terbentuknya kelompok yang meliputi
pemberian penjelasan tentang adanya layanan konseling kelompok bagi para siswa,
penjelasan pengertian, tujuan dan kegunaan konseling kelompok, ajakan untuk
memasuki dan mengikuti kegiatan, serta kemungkinan adanya kesempatan dan
kemudahan bagi penyelenggaraan konseling kelompok.
b. Tahap transisi, merupakan masa setelah proses
pembentukan dan sebelum masa bekerja (kegiatan). Tahap ini yang merupakan
proses dua bagian, yang ditandai dengan ekspresi sejumlah emosi dan interaksi
anggota.
c. Tahap kegiatan sering disebut juga sebagai
tahap bekerja, tahap penampilan, tahap tindakan, dan tahap pertengahan yang
merupakan inti kegiatan konseling kelompok, sehingga memerlukan alokasi waktu
yang terbesar dalam keseluruhan kegiatan konseling kelompok.
d. Tahap pengakhiran, yaitu memberi kesempatan
pada anggota kelompok untuk memperjelas arti dari pengalaman mereka, untuk
mengkonsolidasi hasil yang mereka buat, dan untuk membuat keputusan mengenai
tingkah laku mereka yang ingin dilakukan di luar kelompok dan dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari.
2.1.4. Etika dalam Konseling Kelompok
Menurut Mungin Eddy Wibowo (2005 : 341) etika
dalam konseling kelompok adalah etika yang disetujui yang konsisten dengan
komitmen etika dalam arti yang lebih luas (politik, moral dan agama) yang kita
anggap masuk akal dan yang bisa diterapkan oleh klien maupun pihak pemberi
bimbingan. Etika tidak bersifat absolut. Etika bisa berubah sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya. Jika tidak demikian etika-etika bisa
menjadi penghambat dan bukan lagi sebagai suatu penuntun untuk pengembangan
kerja dan pengembangan diri. Karena ada beberapa etika yang bersifat universal
(tidak berubah) dalam bidang hubungan antar manusia. Kode etik untuk bidang
tersebut diterima sepanjang waktu.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa etika dalam konseling kelompok merupakan
komitmen atau kesepakatan yang disetujui antara konseling dengan konselor yang
tidak bersifat absolut sebagai suatu penuntun untuk pengembangan kerja dan
pengembangan diri dalam menyelenggarakan konseling kelompok.
2.1.5. Kekuatan dan Keterbatasan Konseling Kelompok
Menurut
Mungin Eddy Wibowo (2005 :41) ada beberapa kekuatan konseling kelompok yaitu antara
lain :
a. Kepraktisan, yaitu dalam waktu yang relative
singkat konselor dapat berhadapan dengan sejumlah siswa di dalam kelompok dalam
upaya untuk membantu memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan pencegahan,
pengembangan pribadi dan pengentasan masalah.
b. Dalam konseling kelompok anggota akan belajar
untuk berlatih tentang prilaku yang baru.
c. Anggota kelompok mempunyai kesempatan untuk
saling memberi bantuan, menerima bantuan dan berempati dengan tulus didalam
konseling kelompok.
d. Melalui konseling kelompok, individu-individu
mencapai tujuannya dan berhubungan dengan individu-individu lain dengan cara
yang produktif dan inovatif.
e. Motivasi manusia muncul dari hubungan kelompok
kecil. Manusia membutuhkan penerimaan, pengakuan, dan afiliasi, apabila
unsur-unsur tersebut terpenuhi semua, maka perilaku, sikap, pendapat dan apa
yang disebut cirri-ciri pribadi sebagai ciri unik individu yang berakar dari
pola afiliasi kelompok yang menentukan konteks sosial seseorang hidup dan
berfungsi dapat mewujudkan melalui intervensi konseling kelompok.
f.
Dalam konseling kelompok terdapat kesempatan
luas untuk berkomunikasi dengan teman-teman mengenai segala kebutuhan yang
terfokus pada pengembangan pribadi, pencegahan, dan pengentasan masalah yang
dialami oleh setiap anggota.
g. Konseling kelompok member kesempatan para
anggota untuk mempelajari keterampilan sosial.
Selain
memiliki kekuatan, konseling kelompok juga memiliki keterbatasan yaitu sebagai
berikut :
a. Tidak semua siswa cocok berada dalam kelompok,
beberapa diantaranya membutuhkan perhatian dan intervensi individual.
b. Tidak semua siswa siap atau bersedia untuk
bersikap terbuka dan jujur mengemukakan isi hatinya terhadap teman-temannya di
dalam kelompok, lebih-lebih yang akan dikatakan terasa memalukan bagi dirinya.
c. Persoalan pribadi satu-dua anggota kelompok
makin kurang mendapat perhatian dan tanggapan bagaimana mestinya, karena
perhatian kelompok terfokus pada persoalan pribadi anggota yang lain, sebagai
akibatnya siswa tidak akan merasa puas.
d. Sering siswa mengharapkan terlalu banyak
bantuan dari kelompok, sehingga tidak berusaha untuk berubah.
e. Sering kelompok bukan dijadikan sarana untuk
berlatih melakukan perubahan, tapi justru dipakai sebagai tujuan.
Berdasarkan dari pendapat tersebut, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam konseling kelompok terdapat kekuatan dan
keterbatasan yang harus diperhatikan agar penyelenggaraan konseling kelompok
dapat terarah dan berjalan secara lancar serta sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.
2.2. Motivasi Belajar
2.2.1. Pengertian Motivasi Belajar
Menurut Mc. Donald (dalam Sardiman, 2010 : 73)
motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan
munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.
Menurut Oemar Hamalik
(2007 : 28), belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu
melalui interaksi dengan lingkungannya. Aspek tingkah laku tersebut adalah:
pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional,
hubungan sosial, jasmani, etis atau budi pekerti dan sikap. Sedangkan, Sardiman
A.M. (2010 : 22) mengatakan bahwa “belajar merupakan suatu proses interaksi
antara diri manusia dengan lingkungannya yang mungkin berwujud pribadi, fakta,
konsep ataupun teori”.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan
bahwa motivasi belajar adalah suatu motif atau dorongan untuk melakukan suatu
kegiatan/pekerjaan guna mencapai tujuan dalam rangka
merubah tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungannya baik dari
aspek kognitif, afektif maupun psikomotor.
2.2.2. Prinsip-Prinsip Motivasi Belajar
Menurut
Kenneth H. Hover (dalam Oemar Hamalik, 2007 : 163) mengemukakan prinsip-prinsip
motivasi belajar sebagai berikut :
a.
Pujian lebih efektif daripada hukuman.
b.
Semua murid-murid mempunyai kebutuhan-kebutuhan
psikologis (yang bersifat dasar) tertentu yang harus mendapat kepuasan.
c.
Motivasi yang berasal dari dalam individu lebih
efektif daripada motivasi yang dipaksakan dari luar.
d.
Motivasi itu mudah menjalar atau tersebar
terhadap orang lain.
e.
Pemahaman yang jelas terhadap tujuan-tujuan yang
akan merangsang motivasi.
f.
Motivasi yang besar erat hubungannya dengan
kreativitas murid.
Berdasarkan
uraian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya proses belajar akan mendapatkan
hasil yang lebih maksimal jika pemberian motivasi dapat diterima oleh siswa didik
dengan baik.
2.2.3. Fungsi Motivasi Belajar
Menurut
Sardiman A.M. (2010 : 85) ada tiga fungsi motivasi belajar yaitu sebagai
berikut:
a. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai
penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan
motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan
yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan
kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan
perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan,
dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan
tersebut.
Dari
pendapat yang ada dapat disimpulkan bahwa fungsi dari motivasi itu sendiri
adalah sebagai motor pengerak kemana dan bagaimana perbuatan yang akan
dilaksanakan.
2.2.4. Macam-Macam Motivasi Belajar
Menurut
Frandsen (dalam Sardiman A.M. (2010 : 87) macam- macam motivasi belajar dilihat
yaitu antara lain :
a. Cognitive motives, motif ini menunjuk pada
gejala intrinsik, yakni menyangkut kepuasan individual.
b. Self-expression, penampilan diri adalah
sebagian dari perilaku manusia. Yang penting kebutuhan individu itu tidak
sekedar tahu mengapa dan bagaimana sesuatu itu terjadi, tetapi juga mampu
membuat suatu kejadian.
c. Self-enhancement, melalui aktualisasi diri dan
pengembangan kompetensi akan meningkatkan kemajuan diri seseorang.
Menurut
Woodworth dan Marquis (dalam Sardiman A.M. (2010 : 88) macam- macam motivasi
belajar dilihat yaitu antara lain :
a. Motif atau kebutuhan organis, meliputi misalnya
: kebutuhan untuk minum, makan, bernafas, seksual, berbuat dan kebutuhan untuk
beristirahat.
b. Motif-motif darurat yang meliputi : dorongan
untuk menyelamatkan diri, dorongan untuk membalas, untuk berusaha, untuk
memburu.
c. Motif-motif objektif yang meliputi : kebutuhan
untuk melakukan eksplorasi, melakukan manipulasi, untuk menaruh minat.
Dari
beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwasanya, motivasi terjadi
karena 2 faktor. Yaitu faktor yang berasal dari diri sendiri ( intern ) dan
faktor yang berasal dari luar diri seseorang ( ekstrinsik )
2.2.5. Ciri-Ciri Motivasi
Menurut
Sardiman A.M. (2010 : 83) bahwa setiap tindakan manusia terjadi karena adanya
unsur pribadi manusia. Sehingga terdapat ciri-ciri tersendiri dalam motivasi
yaitu :
a. Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja
terus-menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai).
b. Ulet menghadapi kesulitan. Tidak memerlukan
dorongan dari luar untuk berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan
prestasi yang telah dicapai).
c. Menunjukan minat terhadap bermacam-macam
masalah (Misalnya masalah pembangunan, agama, politik, ekonomi, keadilan,
korupsi, dan sebagainya).
d. Lebih senang bekerja sendiri.
e. Cepat bosan dengan tugas-tugas rutin (hal-hal
yang berulang begitu saja sehingga kurang kreatif).
f.
Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah
yakin akan sesuatu).
g. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu.
h. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal
Berdasarkan
hal tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam kegiatan belajar
mengajar akan berhasil baik jika siswa mampu tekun mengerjakan tugas, ulet
dalam memecahkan masalah serta hambatan secara mandiri.
2.2.6. Bentuk-Bentuk Motivasi Belajar
Menurut
Sardiman A.M. (2010 : 91) ada beberapa bentuk dan cara untuk menumbuhkan
motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah yaitu :
a. Memberi angka
Angka dalam hal ini sebagai simbol dari nilai
kegiatan belajarnya. Banyak siswa yang belajar, yang utama justru untuk
mencapai angka/nilai yang baik. Angka-angka yang baik itu bagi para siswa
merupakan motivasi yang sangat kuat.
b.
Ego-involvement
Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar
merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja
keras dengan mempertaruhkan harga diri, adalah sebagai salah satu bentuk
motivasi yang cukup penting.
c.
Mengetahui hasil
Dengan mengetahui hasil pekerjaan, apalagi
kalau terjadi kemajuan, akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar. Semakin
mengetahui bahwa grafik hasil belajar meningkat, maka ada motivasi pada diri
siswa untuk terus belajar, dengan suatu harapan hasilnya terus meningkat.
d. Memberi
ulangan
Para siswa akan menjadi giat belajar kalau
mengetahui aka nada ulangan. Oleh karena itu, memberi ulangan ini juga
merupakan sarana motivasi.
e.
Hadiah
Hadiah dapat juga dikatakan sebagai motivasi,
tetapi tidaklah selalu demikian. Karena hadiah untuk suatu pekerjaan, mungkin
tidak akan menarik bagi seseorang yang tidak senang dan tidak berbakat untuk
sesuatu pekerjaan tersebut. Sebagai contoh hadiah yang diberikan untuk gambar
yang terbaik mungkin tidak akan menarik bagi seseorang yang tidak memiliki
bakat menggambar.
f.
Saingan/kompetisi
Saingan atau kompetisi dapat digunakan sebagai
alat motivasi untuk mendorong belajar siswa. Persaingan, baik persaingan
individual maupun persaingan kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa.
g. Pujian
Apabila ada siswa yang sukses yang berhasil
menyelesaikan tugas dengan baik, perlu diberikan pujian. Pujian ini adalah
bentuk reinforcement yang positif dan sekaligus merupakan motivasi yang baik.
Oleh karena itu, supaya pujian ini merupakan motivasi, pemberiannya harus
tepat.
h. Minat
Motivasi muncul karena ada kebutuhan, begitu
juga minat sehingga tepatlah kalau minat merupakan alat motivasi yang pook.
Proses belajar itu akan berjalan lancar kalau disertai dengan minat.
i. Hukuman
Hukuman sebagai reinforcement yang negatif
tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi.
j.
Hasrat untuk belajar
Hasrat untuk belajar, berarti ada unsure
kesengajaan, ada maksud untuk belajar. Hal ini akan lebih baik, bila
dibandingkan segala sesuatu kegiatan yang tanpa maksud. Hasrat untuk belajar
berarti pada diri anak didik itu memang ada motivasi untuk belajar, sehingga
sudah barang tentu hasilnya akan lebih baik.
k. Tujuan
yang diakui
Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik
oleh siswa, akan merupakan alat motivasi yang sangat penting. Sebab dengan
memahami tujuan yang harus dicapai, karena diras asangat berguna dan
menguntungkan, maka akan timbul gairah untuk terus belajar.
Berdasarkan hal itu maka dapat diambil
kesimpulan bahwa bentuk-bentuk motivasi merupakan sarana untuk dapat
mengarahkan dan mengerakan perilaku manusia dari perilaku tertentu diubah
menjadi perilaku yang berbeda.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Populasi
dasar Penelitian
Menurut Suharsimi Arikunto (2002:108), populasi
adalah keseluruhan subyek penelitian. Populasi dibatasi sebagai sejumlah
penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai sifat yang sarna.
Pengertian di atas mengandung maksud bahwa populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh individu yang akan di.jadikan subyek penelitian
dan keseluruhan dari individu itu harus memiliki paling tidak satu sifat yang
sama. Adapun populasi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1.
Usia rata-rata
antara 13 s/d 15 tahun
2.
Jenis
kelamin laki-laki dan perempuan
3.
Siswa/siswi yang perlu konseling pada SMP
S Ma’had Miftahul Ulum
Berdasarkan
pengertian tersebut di atas, maka dalam penelitian ini populasinya adalah
siswa/siswi yang memerlukan konseling.
3.2.
Sampel dan Teknik Sampling
Menurut
Suharsimi Arikunto (2002:112), sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang
diteliti. Untuk penentuan jumlah sampel berpedoman pada yang dikemukakan oleh
Suharsimi Arikunto (2002:112) bahwa apabila subyeknya kurang dari 100 lebih
baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi.
Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10 s/d 15% atau 20
s/d 25% atau lebih.
Adapun
dalam penelitian ini cara pengambilan sampel adalah dengan cara total sampling
yaitu mengikutsertakan semua individu atau anggota populasi menjadi sampel
(Suharsimi Arikunto, 2002:112). Sehingga mengikutsertakan semua siswa/siswi
yang memerlukan konseling pada SMP
S Ma’had Miftahul Ulum.
3.3.
Rincian Prosedur
Penelitian
Penelitian ini
dilakukan dalam tiga siklus dengan masing-masing siklus dilaksanakan dalam
empat tahap. Tahap-tahap tersebut merupakan tahap perencanaan, pelaksanaaan,
pengamatan (observasi) dan refleksi.
a) Perencanaan
Dalam
tahapan ini disusun perencanaan pembelajaran untuk perbaikan pembelajaran.
Dimana bukan hanya berisi tentang tujuan yang harus dicapai tetapi juga harus
lebih ditonjolkan perlakuan khusus yang harus diberikan.
Pada tahap ini
langkah-langkahnya sebagai berikut :
a.
Menganalisis efektifitas waktu belajar.
b.
Membuat need assesment.
c.
Membuat satuan layanan konseling kelompok.
d.
Membuat modul/rangkuman materi yang akan diberikan ke siswa
yakni motivasi belajar.
e.
Menyusun alat evaluasi (skala penilaian).
f.
Menyiapkan lembar observasi.
g.
Memilih video yang sesuai untuk dapat memotivasi siswa.
h.
Menyiapkan permainan.
b)
Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan
tindakan adalah perlakuan yang dilaksanakan peneliti berdasarkan perencanaan
yang telah disusun. Tindakan adalah perlakuan yang dilaksanakan oleh peneliti
sesuai dengan fokus masalah. Tindakan ini adalah inti dari penelitian, sebagai
upaya meningkatkan kinerja guru untuk menyelesaikan masalah.
Tahap pelaksanaan
tindakan meliputi langkah-langkah sebagai berikut :
a.
Tahap pemulaan, yaitu upaya penumbuhan minat bersama dalam
Konseling.
b.
Tahap transisi, yaitu proses pembentukan interaksi.
c.
Tahap kegiatan sharing yang merupakan inti proses konseling.
d.
Tahap pengakhiran, yaitu membuat suatu kesimpulan.
c)
Pengamatan (observasi)
Observasi
dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang proses pembelajaran yang
dilakukan peneliti sesuai dengan tindakan yang telah disusun. Melalui observasi
peneliti dapat mencatat berbagai kelemahan dan kekuatan yang dilakukan guru
dalam melaksanakan tindakan, sehingga hasilnya dapat dijadikan masukan ketika
peneliti melakukan refleksi untuk penyusunan rencana ulang memasuki putaran
atau siklus berikutnya.
Pengamatan
dilakukan oleh guru yang dibantu oleh rekan sejawat atau guru mitra selama
proses kegiatan konseling berlangsung. Adapun hal-hal yang diamati meliputi :
a.
Ketekunan menghadapi tugas
b. Ulet
menghadapi kesulitan.
c.
Menunjukan minat terhadap bermacam-macam masalah
d. Lebih
senang bekerja sendiri
e.
Cepat bosan dengan tugas-tugas rutin. Hal-hal yang berulang
begitu saja sehingga kurang kreatif.
f.
Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan
sesuatu)
g.
Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu.
h.
Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal
d)
Refleksi
Refleksi
adalah aktivitas melihat berbagai kekurangan yang dilaksanakan peneliti selama
tindakan. Refleksi dilakukan dengan melakukan diskusi dengan observer yang
biasanya dilakukan oleh teman sejawat. Dari hasil refleksi, guru dapat mencatat
segala kekurangan yang perlu diperbaiki, sehingga dapat dijadikan dasar dalam
penyusunan rencana ulang.
Setelah
melakukan proses pembelajaran, masih ditemukan
kekurangan dari segi peneliti maupun yang
diteliti. Kekurangan tersebut misalnya :
a.
Guru belum mampu motivasi siswa untuk dapat menyelesaikan
masalah yang menggangu konsentrasi belajarnya.
b.
Mengelola waktu belum efektif
c.
Proses konseling kelompok belum bisa merasakan empati antar
konseling
3.4.
Analisa Data
Agar setiap data
dapat memberikan informasi yang jelas sehingga mudah dipahami, maka data
tersebut perlu disajikan dalam berbagai bentuk penyajian.
Bentuk-bentuk penyajian data yang
digunakan antara lain :
1) Data
dalam bentuk tabel
Tabel
adalah bentuk penyajian data untuk mengambarkan keadaan sesuatu. Biasanya
sebuah tabel terdiri atas judul kolom, judul baris, dan sumber data.
2) Data
dalam bentuk Diagram atau Grafik
Grafik
dapat memvisualkan perkembangan sesuatu dalam kurun waktu atau setiap kegiatan.
(Sanjaya
wina,2009:115)
Teknik analisis data
dalam PTK dapat dilakukan dengan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.
Analisis data kualitatif digunakan untuk menentukan peningkatan proses
konseling khususnya berbagi tindakan yang dilakukan peneliti sedangkan analisis
data kuantitatif digunakan untuk peningkatan motivasi belajar matematika
siswa sebagai pengaruh dari setiap tindakan yang dilakukan peneliti.
Analisis data dapat dilakukan dalam
tiga tahap :
1) Reduksi
Data yaitu kegiatan menyeleksi data disesuaikan dengan fokus masalah.
2) Mendeskripsikan
data sehingga data yang telah diorganisir menjadi bermakna.
3) Membuat
kesimpulan berdasarkan deskripsi data.
(Sanjaya
wina,2009:107)
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
http://bkpemula.blogspot.com/2011/09/ptbk-upaya-peningkatan-motivasi-belajar.html